MUNGKIN di antara kita ada yang belum tahu terkait boleh atau tidaknya membatalkan pernikahan setelah lamaran. Padahal hal ini penting untuk diketahui khususnya kaum muslimin. Berikut penjelasan tentang hukum membatalkan pernikahan dalam syariat Islam.
Dikutip dari NU Online, Ustadz Sunnatullah, santri sekaligus pengajar di Pondok Pesantren Al Hikmah Darussalam Kokop, Bangkalan, Jawa Timur, menjelaskan bahwa menurut Syekh Dr Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab ‘A-Fiqhul Islami wa Adillatuh’ khitbah (lamaran) tidak bisa dianggap sama dengan nikah. Keduanya merupakan dua hal berbeda, sehingga mempunyai ketentuan yang berbeda pula.
Dalam kitabnya disebutkan:
بما أن الخطبة ليست زواجاً، وإنما هي وعد بالزواج، فيجوز في رأي أكثر الفقهاء للخاطب أو المخطوبة العدول عن الخطبة
Artinya: “Melihat bahwasanya khitbah tidak bisa dikatakan akad nikah, dan khitbah hanyalah sebatas janji untuk menikah, maka menurut mayoritas ulama, bagi mempelai pria yang melamar dan wanita yang dilamar boleh untuk berubah pikiran dari lamarannya (janji nikahnya, red).” (Syekh Dr Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab ‘Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh’, [Beirut: Dar al-Fikr 2010], juz 9, halaman 19)
BACA JUGA: Haruskah Terima Lamaran Laki-Laki yang Enggan Shalat?
Bolehkah Membatalkan Pernikahan Setelah Lamaran?
Khitbah dengan segala ketentuannya memang belum bisa dianggap sebagai akad nikah. Sebelum akad (nikah) terjadi antara keduanya, masing-masing belum mempunyai tanggungan apa pun, dan tidak mempunyai beban antara keduanya.
Namun dalam kelanjutan pernyataannya, Syekh Wahbah Az-Zuhaili menganjurkan untuk tidak membatalkan pernikahan sebagai bentuk etika. Dalam kitabnya dijelaskan:
ولكن يطلب أدبياً ألا ينقض أحدهما وعده إلا لضرورة أو حاجة شديدة، مراعاة لحرمة البيوت وكرامة الفتاة
Artinya: “Akan tetapi, dianjurkan sebagai bentuk etika bagi salah satunya, untuk tidak merusak janjinya, kecuali dalam keadaan yang mendesak, atau kebutuhan yang sangat. (Hal itu) demi menjaga kehormatan keluarga dan kemuliaan wanita.” (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, ‘Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh’, 2010: juz 9, halaman 19)
Imam Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi dalam kitab ‘Al-Adzkar’ menjelaskan tentang janji. Ulama kalangan Syafiiyah sepakat, sunah hukumnya menepati janji, selagi tidak berupa janji yang dilarang, tentu jika tidak ditepati akan berkonsekuensi pada hukum makruh dan menghilangkan keutamaannya (Imam Nawawi, ‘Al-Adzkar lin Nawawi’, [Beirut: Dar al-Fikr, 1994], halaman 317)
Setelah mengetahui hukum membatalkan pernikahan setelah lamaran, sebaiknya kita pun mengetahui proses utama alur sebuah khitbah sebelum pernikahan. Yaitu pengajuan khitbah, tukar menukar informasi, jawaban khitbah dan hal-hal yang terkait dengan pembatalan khitbah apabila dibutuhkan. Berikut penjelasannya seperti dikutip dari Rumah Fiqih:
1. Pengajuan Khitbah
Sebelum khitbah dan statusnya ditetapkan, langkah yang paling awal adalah pengajuan khitbah yang dilakukan oleh pihak calon suami. Esensi yang paling utama dari pengajuan khitbah ini adalah keinginan untuk menikahi calon istri.
2. Tukar Menukar Informasi
Namun khitbah bukan hanya berisi penyampaian keinginan untuk menikah, tetapi juga berisi tukar menukar informasi dari kedua belah pihak. Pengajuan khitbah ini bisa diibaratkan sebuah pengajuan proposal kegiatan yang di dalamnya ada penjelasan-penjelasan yang rinci dan spesifik. Semua informasi itu akan sangat berguna bagi wali untuk membuat pertimbangan dan keputusan.
Di antara spesifikasi itu misalnya tentang kesiapan pihak calon suami dalam pemberian nilai mahar, nilai nafkah, tempat tinggal, dan berbagai pemberian lainnya. Dan termasuk juga di dalamnya adalah rincian tentang hak dan kewajiban yang akan disepakati oleh masing-masing pihak.
Bolehkah Membatalkan Pernikahan Setelah Lamaran?
Di sisi lain, pihak calon suami juga berhak mendapatkan informasi yang dibutuhkan terkait dengan calon istri, baik yang terkait dengan kondisi fisik ataupun keadaan-keadaan yang lain.
Apabila calon istri memiliki catatan tertentu, seperti kondisi kesehatan, cacat, aib atau hal-hal yang sekiranya akan mengganggu keharmonisan rumah tanggal, maka pihak wali wajib bersikap terbuka dan kooperatif, tidak boleh menutup-nutupi apalagi berusaha untuk menipu.
Proses tukar menukar informasi ini sangat berguna bagi kedua belah pihak untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya.
3. Jawaban
Khitbah yang sudah diajukan belum sah menjadi sebuah ketetapan hukum, dan masih membutuhkan jawaban dari pihak wali, apakah pengajuan khitbah itu diterima atau ditolak.
Dan jawaban untuk menerima atau menolak pengajuan khitbah ini tidak harus dilakukan saat itu juga. Pihak wali boleh saja meminta waktu beberapa laam untuk memberikan jawaban. Dan selama jawaban khitbah belum diberikan, status wanita itu masih belum lagi menjadi wanita yang dikhitbah (makhtubah).
Maka oleh karena itu, belum tertutup kemungkinan bagi wali untuk menerima pengajuan khitbah dari pihak lain.
Namun wali berkewajiban untuk memberikan jawaban diterima atau ditolak sesuai dengan tempo yang dimintakannya kepada pihak yang mengajukan khitbah.
Terkadang jawaban dari pihak wali bisa dalam bentuk persetujuan dan penerimaan secara bulat, namun dalam prosesnya bisa saja dalam bentuk penerimaan bersyarat. Maksudnya, khitbah diterima namun apabila pihak calon suami bisa memenuhi syarat-syarat yang diajukan oleh wali.
Bolehkah Membatalkan Pernikahan Setelah Lamaran?
BACA JUGA: Saat Khitbah, Tak Boleh Tukar Cincin?
4. Pembatalan
Kalau sebuah pernikahan yang sangat kokoh bisa diakhiri dengan perceraian, maka khitbah yang sudah resmi disepakati bisa juga dibatalkan dengan alasan tertentu. Artinya membatalkan pernikahan bisa terjadi.
Misalnya, apabila terdapat ketidak-sesuian informasi yang diterima dengan fakta-fakta di lapangan, maka baik pihak calon suami atau calon istri, sama-sama berhak untuk membatalkan pernikahan setelah khitbah, baik dilakukan secara sepihak ataupun atas kesepakatan dari sebuah musyawarah.
Dan pembatalan itu juga bisa terjadi apabila ada salah satu dari syarat yang telah disepakati sebelumnya tidak bisa dilaksanakan.
Misalnya wali mengajukan syarat masa berlaku khitbah. Wali mensyaratkan masa berlaku khitbah itu terbatas, misalnya dua bulan. Apabila dalam jangka waktu dua bulan, calon suami tidak segera menikahi wanita yang dikhitbahnya, maka secara otomatis khitbahnya tidak berlaku.
Dan syarat ini juga berlaku sebaliknya, misalnya apabila sampai waktu tertentu pihak calon istri masih belum bisa melaksanakan akad nikah, maka khitbahnya bisa dibatalkan oleh pihak calon suami.
Demikianlah pembahasan tentang hukum membatalkan pernikahan setelah lamaran dalam syariat Islam. Meski membatalkan pernikahan diperbolehkan, namun tetap saja harus diperhatikan kepantasannya agar hubungan kedua belah pihak tetap baik.
Wallahu a’lam bishawab. []