KATANYA tidak boleh membawa bebatuan atau kerikil di kota Mekah atau Madina, jika melanggar bisa mengancam kehidupan seseorang. Misalnya, hidupnya jadi tidak tenang. Apakah ini benar?
Daerah Mekah dan Madinah merupakan tanah haram yang memiliki hukum khusus.
Allah berfirman,
“Aku hanya diperintahkan untuk menyembah Tuhan negeri ini (Mekkah) Yang telah menjadikannya suci dan kepunyaan-Nya-lah segala sesuatu, dan aku diperintahkan supaya aku termasuk orang-orang yang berserah diri,” (QS. An-Naml: 91).
Dalam hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan rahasia penamaan Mekah dengan tanah haram,
“Sesungguhnya kota ini, Allah telah memuliakannya pada hari penciptaan langit dan bumi. Dia adalah kota suci dengan dasar kemuliaan yang Allah tetapkan sampai hari Kiamat. Belum pernah Allah halalkan berperang di dalamnya, sebelumku. Dan Allah tidak halalkan bagiku untuk memerangi penduduknya, kecuali beberapa saat di waktu siang (ketika Fathu Mekah).”
Selanjutnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan hukum yang berlaku, sebagai konsekuensi Allah jadikan tanah ini sebagai kota haram. Beliau bersabda,
“Dia haram dengan kemuliaan yang Allah berikan, sampai hari kiamat. Tidak boleh dipatahkan ranting pohon-nya, tidak boleh diburu hewannya, tidak boleh diambil barang hilangnya, kecuali untuk diumumkan, dan tidak boleh dicabut rerumputan hijaunya,” (HR. Bukhari 3189 & Muslim 3289).
Apakah mengambil tanah atau kerikil di Mekah maupun di Madinah, termasuk dalam cakupan hadis ini?
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengambil tanah di Mekah atau Madinah, kemudian dibawa ke luar daerah.
Pertama, Dibolehkan mengambil tanah atau kerikil kota Mekah atau Madinah ke luar daerah.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah dan ulama hanafiyah. Mereka beralasan bahwa tidak ada dalil yang melarang hal ini. Sehingga kembali kepada hukum asal yaitu mubah. Sementara hadis tentang haramnya daerah Mekah dan Madinah, itu berlaku untuk selain tanah. Seperti pepohonan, binatang, dan yang lainnya.
Kedua, Makruh mengambil tanah atau kerikil kota Mekah atau Madinah ke luar daerah.
Ini merupakan pendapat mayoritas ulama, diantaranya Syafiiyah dan Hambali. Mereka berdalil dengan pernyataan Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum.
Ibnu Jasir mengatakan,Imam Ahmad mengatakan, “Tidak boleh mengeluarkan tanah Madinah.” Ini juga yang dinyatakan Ibnu Umar dan Ibnu Abbas. Tidak boleh mengeluarkan kerikil Mekah keluar kota Mekah. Dalam kitab al-Muntaha dinyatakan, makruh membawa keluar tanah dan kerikil di daerah haram ke luar daerah haram,” (Mufidul Anam fi Tahrir Ahkam lil Haj, 1/233).
Al-Mubarokfuri menukil keterangan al-Muhib at-Thabari yang menjelaskan,
Diriwayatkan dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum bahwa keduanya memakruhkan membawa keluar sedikitpun tanah dan kerikil Mekah ke daerah halal. (Mur’atul Mafatih, 9/478).
Ketiga, haram membawa keluar tanah atau bebatuan di kota Mekah dan Madinah ke luar wilayah.
Ini merupakan pendapat sebagian Syafi’iyah.
An-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab mengatakan,
Ada perbedaan pendapat di kalangan Syafiiyah tentang hukum membawa keluar tanah atau bebatuan dari Mekah, makruh ataukah haram. Meskipun al-Muhamili dan yang lainnya mengatakan, ‘Jika ada orang yang membawa keluar, maka dia tidak wajib ganti rugi.’ (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 7/459)
Dan pendapat yang lebih mendekati dalam hal ini adalah pendapat yang menyatakan makruh. Berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar.
Syafi’iyah menegaskan haramnya membawa keluar tanah atau bebatuannya dari daerah haram. Juga tidak boleh membuat kreasi dari tanah Mekah, misalnya dibuat kendi. Jika dibawa ke luar tanah haram maka wajib mengembalikannya. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 17/195).
Al-Mawardi mengatakan,
Jika dia membawa keluar bebatuan dari daerah haram atau sebagian tanahnya, maka dia wajib mengembalikannya ke tempat semula dan mengembalikannya ke tanah haram. (al-Hawi fi al-Fiqh as-Syafii, 4/314). Allahu a’lam. []
Sumber: Konsultasi syariah