TANYA: Bagaimanakah hukum syari’at ini terkait dengan seseorang yang sangat membenci kehidupan ini, dan memohon kepada Allah agar mengakhiri hidupnya?
JAWAB: Tidak dibolehkan bagi seorang muslim untuk membenci kehidupan ini dan berputus asa dari apa yang ada di sisi Allah dari jalan keluar dan kebaikan.
Dikutip dari Islamqa, seorang muslim wajib bersabar pada takdir Allah yang ia hadapi dan berharap kepada Allah dari musibah-musibah yang ia alami, dan memohon kepada-Nya agar Dia memalingkannya dari hal tersebut, menolong dan memberikan pahala kepadanya, menunggu jalan keluar dari-Nya, Allah SWT berfirman:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا * إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا الشرح /5، 6
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”. (QS. Asy Syarhu: 5-6)
BACA JUGA: Lakukan Maksiat; Pilihan Atau Takdir?
Bolehkah Membenci Kehidupan?
Selain tidak dibolehkan membenci kehidupan, seorang muslim pun tidak disukai untuk meminta kematian karena penderitaan yang ia alami. Seperti karena sakit, sempitnya dunia, atau karena hal lainnya. Dan di dalam kitab Shahihain dari Anas –radhiyallahu ‘anhu- berkata: “Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:
لا يتمنين أحدكم الموت لضر نزل به ، فإن كان فاعلاً فليقل : اللهم أحيني ما كانت الحياة خيراً لي ، وتوفني إذا كانت الوفاة خيراً لي
“Janganlah seseorang di antara kalian berangan-angan untuk mati karena penderitaan yang ia alami, kalau ia ingin melakukannya maka ucapkanlah: “Ya Allah, hidupkanlah aku jika kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku.”
Pada gambaran yang tersebut di dalam hadits di atas ada semacam penyerahan diri dan pasrah kepada takdir Allah. Dan musibah apa saja yang seorang muslim derita di dunia akan menjadi penggugur dosa, jika ia berharap kepada Allah Ta’ala dan tidak merasa kecewa. Hal tersebut menjadi pemicu sadarnya hati dari kelalaian, dan menjadi pelajaran untuk masa yang akan datang.
Pasrah kepada takdir Allah SWT memiliki arti tawakal. Menurut buku yang bertajuk Tawakal Bukan Pasrah karya H. Supriyanto, Lc., M.S.I, tawakal berasal dari kata Arab wakalah atau wikalah. Keduanya mengandung makna memperlihatkan ketidakmampuan dan bersandar atau pasrah kepada orang lain.
Bolehkah Membenci Kehidupan?
Kata kerja asalnya adalah wakala yang kemudian lebih lazim memakai wazan tawakala tawakkulan yang berarti menyerahkan, menyandarkan, mewakilkan, dan mempercayakan urusannya kepada pihak lain.
Dalam ajaran Islam, tawakal adalah membebaskan diri dari segala ketergantungan selain Allah dan menyerahkan keputusan atas segala sesuatunya hanya kepada Allah SWT. Hal ini pula yang membuat tawakal disebut sebagai perbuatan menyerahkan segala perkara, ikhtiar, dan usaha kita kepada Allah SWT.
Namun, yang perlu ditekankan dalam konsep tawakal adalah tawakal bukan berarti pasrah. Bukan pula meninggalkan usaha hanya karena bergantung kepada Allah SWT. Sebab itulah dalam tawakal kepada Allah terbagi dalam dua fase, di antaranya:
1. Fase pertama adalah fase usaha atau kerja. Dalam fase ini, kita harus mengikuti mekanisme alam (sunatullah);
2. Fase kedua adalah fase ketika kita menunggu hasil. Di sinilah kita mulao berpasrah kepada Allah dengan sepenuh hati, serta meyakini bahwa apapun hasil dari upaya kita, itu semua tidak terlepas dari taufik dan kehendak Allah SWT.
Oleh karena itu, antara tawakal dan ikhtiar (usaha) tidak bisa dipisahkan antara satu dan lainnya. Konsep tawakal yang sesungguhnya yaitu, untuk mencapai tawakal harus didahului dengan ikhtiar sebab tidak ada tawakal tanpa dibarengi ikhtiar dan ikhtiar tidak sempurna tanpa ada tawakal.
Rasulullah SAW pernah menyerupakan orang yang tawakal sebagai burung yang hendak mencari rezeki. Dari Umar bin Khattab, Rasulullah bersabda:
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ تَغْدُو خِمَاصاً وَتَرُوحُ بِطَاناً
Artinya: “Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad).
Bolehkah Membenci Kehidupan?
BACA JUGA: Takdir Mubram dan Muallaq, Ini Perbedaannya
Ahli hadits Imam Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau masjid, seraya berkata, “Aku tidak mau bekerja sedikitpun, sampai rezekiku datang sendiri.”
Maka Imam Ahmad berkata:
“Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal ilmu. Sungguh Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menjadikan rezekiku melalui panahku.” Dan beliau bersabda, “Sekiranya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakal, niscaya Allah memberimu rezeki sebagaimana yang diberikan-Nya kepada burung-burung yang berangkat pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang.”
Dalam hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan pulang sore hari dalam rangka mencari rezeki. Inilah bukti bahwa setiap tawakal tidak bisa terlepas dari ikhtiar (usaha) manusia.
Demikianlan penjelasan mengenai boleh tidaknya seseorang membenci kehidupan karena beban hidup dan arti sebenarnya tentang tawakal. Semoga setelah mengetahui bahwa membenci kehidupan itu dilarang, bisa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita. Wallahu a’lam. []