SEORANG laki-laki yang membujang harus menanggung beban syahwat yang sangat berat. Apalagi di zaman modern seperti sekarang ini ketika hampir segala hal memanfaatkan gejolak syahwat untuk mencapai keinginan. Lihat saja banyak iklan ataupun produk-produk yang memanfaatkan gambar-gambar wanita untuk menarik pembeli.
Perusahaan-perusaan rokok juga memanfaatkan gadis-gadis muda yang seronok untuk mempromosikan rokoknya yang kita kenal dengan SPG. Mereka merelakan diri mengambilkan sebatang rokok sekaligus menyalakan apinya ke laki-laki yang sedang lengah ataupun sengaja “melengahkan” diri.
Tidak sekadar sampai di situ, acara-acara TV, radio bahkan artikel-artikel kesehatan dan olahraga di berbagai media dimanfaatkan untuk mengekspos rangsang pornografis demi meningkatkan oplah.
BACA JUGA: Bujangan Belum Siap Nikah, Ngapain Dong?
Maka, tak semua dapat menahan pikiran dan angan-angannya. Dorongan-dorongan alamiah untuk mempunyai teman hidup yang khusus ini telah menyita konsentrasi. Daya serap terhadap ilmu tidak tajam. Apalagi untuk shalat, sulit merasakan kekhusyukan.
Ketika mengucapkan “iyyaKa na’budu wa iyyaKa nasta’in” yang muncul bukan kesadaran mengenai kebesaran Allah yang patut disembah, melainkan bayangan-bayangan kalau suatu saat telah menikah.
Shalat orang yang masih belum menikah memang sulit mencapai kekhusyukan, apalagi memberi bekas dalam akhlak sehari-hari. Barangkali itu sebabnya Rasulullah SAW menyatakan, “Shalat dua rakaat yang didirikan oleh orang yang menikah lebih baik daripada shalat malam dan berpuasa pada siang harinya yang dilakukan oleh seorang lelaki bujangan.”
Maka, bagaimana seorang yang masih membujang dapat mengejar derajat orang-orang yang sudah menikah, kalau shalat malam yang disertai puasa di siang hari saja tak bisa disejajarkan dengan derajat shalat dua rakaat mereka yang telah didampingi istri. Padahal mereka yang telah mencapai ketenangan batin, penyejuk mata dan ketenteraman jiwa dengan seorang istri yang sangat besar cintanya, bisa jadi melakukan shalat sunnah yang jauh lebih banyak dibandingkan yang belum menikah. Maka, apa yang bisa mengangkat seorang bujangan kepada kemuliaan di akhirat?
Alhasil, membujang rasanya lebih dekat dengan kehinaan, sekalipun jenggot yang lebat telah membungkus kefasihan mengucapkan dalil-dalil suci Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Benarlah apa yang disabdakan oleh Rasulullah, “Orang meninggal di antara kalian yang berada dalam kehinaan adalah bujangan.” Bujangan. Tanpa seorang pendamping yang dapat membantunya bertakwa kepada Allah, hati dapat terombang-ambing oleh gharizah (instink) untuk memenuhi panggilan biologis.
Oleh kerinduan untuk mempunyai sahabat khusus yang hanya kepadanya kita bisa menceritakan sisi-sisi hati yang paling sakral, serta oleh panjangnya angan-angan yang sulit sekali memangkasnya.
Dalam keadaan demikian, agaknya sedikit sekali yang sempat merasakan khusyuknya shalat dan tenangnya hati karena zikir. Dalam keadaan demikian, kita bisa disibukkan oleh maksiat yang terus-menerus. Sesekali dapat melepaskan diri dari maksiat memandang wanita ajnabi (bukan muhrim), tetapi masuk kepada maksiat lainnya. Pikiran disibukkan oleh hal-hal yang kurang maslahat, sedang mulut mengucapkan kalimat-kalimat yang memiriskan hati.
BACA JUGA: Bahaya Hidup Membujang
Di saat seperti ini, kita dapat merenungkan sekali lagi peringatan Rasulullah. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dzar, Rasulullah SAW. menegaskan:
“Orang yang paling buruk di antara kalian ialah yang melajang (membujang), dan seburuk-buruk mayat (di antara) kalian ialah yang melajang (membujang).” (HR Imam Ahmad).
Biasanya Islam memberikan penghormatan yang tinggi untuk hal-hal yang merupakan kebalikannya. Kalau membujang sangat tidak disukai, kita mendapati bahwa menikah mendekatkan manusia kepada surga-Nya.
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. bersabda, “Tiga orang yang akan selalu diberi pertolongan oleh Allah adalah seorang mujahid yang selalu memperjuangkan agama Allah SWT., seorang penulis yang selalu memberi penawar, dan seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya.” (HR. Thabrani). []
Referensi: Kupinang dengan Hamdallah/Muhammad Fauzhiel Adhiem