Oleh: dr. Fanni Fathihah
PERIHAL tenggennya si Menan, kami semua sudah mafhum. Tiga bulan lalu lelaki yang sehari-hari mencari nira di Rimbo Panjang itu mendapat musibah berat. Istri dan anaknya yang berusia 3 tahun tewas ditabrak rombongan pejabat yang melintas di kampung kami. Sialnya, kasus ini menguap begitu saja.
“Maklum, yang menabrak itu pejabat tinggi di Padang, kami tak bisa apa-apa,”kata Mangkuto, Wali Nagari sembari menyerahkan amplop berisi uang damai kepada Menan.
Sejak saat itu Menan berubah kelakuannya. Dia yang periang, ramah dan siak tiba-tiba jadi pendiam dan tidak pernah lagi ke Surau.
Puncaknya ketika terjadi alek Batagak Panghulu 2 bulan lalu, tiba-tiba Menan muncul di tengah keramaian.
“Ke sini kau! Ke sini! Mentang-mentang pejabat kaupikir bisa berbuat sesukamu hah!” teriaknya sambil mengacung-acungkan ladiang ke arah tamu undangan.
Sontak acara terhenti. Beberapa hansip berusaha menangkap Menan. Merebut ladiang dan mengikat tangannya.
“Lepaskan! Lepaskan! Kalian semua munafik! Pejabat munafik! Beraninya pada orang kecil! Lepaskaaan!” Menan terus meronta ketika tubuhnya yang diikat dibawa orang ke rumah orangtuanya di pinggir kampung.
Maka resmilah Menan mendapat predikat tenggen. “87!” kata anak-anak sembari menyilangkan telunjuk mereka di kening. Setelah 2 minggu dipasung, akhirnya Menan dilepaskan. Sudah tenang dan tidak pernah mengamuk lagi. Hanya sesekali terdengar dia tertawa, kemudian menangis, kemudian bicara sendiri. Laiknya orang gila di pinggiran jalan.
Diam-diam saya simpati kepada si Menan. Walau bagaimanapun, dia pernah jadi guru mengaji saya di Surau dulu. Usia kami tidak terpaut jauh. Saya SD dia SMP. Di daerah kami masih terjaga budaya anak muda laki-kaki menginap di Surau.
“Jangan sering-sering ngasih makan ke si Menan, nanti keenakan dia,” kata Mak suatu ketika.
“Ya Mak, sesekali saja. Kalau dia kebetulan lewat dan kebetulan ada sisa makanan di dapur,”jawabku.
“Waang perhatian benar ke si Menan. Hati-hati jangan ketularan tenggen. Sebentar lagi ujian akhir nasional,”kata Ayah ikut memperingatkan.
“Iya Yah, Insyaallah tidak ketularan,” jawabku sambil tersenyum.
Suatu hari terjadi kehebohan. Di dinding balai Kerapatan Adat Nagari ( KAN ) terpampang tulisan “WALI NAGARI KORUPSI. UANG BANTUAN SOSIAL DARI PEMERINTAH DIMAKAN SETENGAHNYA.” TTD : MENAN
Terlihat tulisan dengan huruf kapital semua itu ditulis menggunakan arang. Dan saya hapal betul itu tulisan si Menan.
Sontak tulisan itu membuat Pak Wali Nagari meradang. Hari itu juga dikumpulkannya seluruh perangkat nagari, Wali Jorong, Ninik Mamak, dan Ulama, lengkap Tigo Tungku Sajarangan. Termasuk Ayahku yang penghulu.
“Kurang ajar! Ini tidak bisa dibiarkan! Si Menan harus bertanggung jawab! Ini fitnah!” teriak Pak Wali geram.
“Tapi bagaimana Pak Wali? Dia kan gila?”sahut Pono, ketua Karang Taruna.
“Bahkan dalam Islam, orang seperti si Menan lepas kewajibannya,” sahut Mak Labay, guru mengaji.
Akhirnya rapat yang diadakan di kantor Nagari itu selesai tanpa keputusan.
Sejak muncul tulisan itu si Menan menghilang. Tak tampak lagi batang hidungnya mondar mandir sepanjang pasar kecamatan. Orang-orang pun menyangka si Menan tersasar di kampung lain, dibuang atau apalah. Apa peduli mereka kepada orang gila seperti Menan?
Ketika orang-orang mulai melupakan Menan dan tulisan di balai KAN, tiba-tiba muncul lagi tulisan baru : MAK LABAY KURANG AJA. SERING MANCIGOK INDUAK-INDUAK MANDI. TTD : MENAN.
Lagi-lagi ditulis dengan huruf kapital menggunakan arang. Kali ini yang kena Mak Labay si guru mengaji.
Kampung kami kembali heboh. Dengan muka merah padam Mak Labay berucap,”Si Menan harus dicari! Ditangkap, lalu kita pasung saja! Mohon bantuannya Pak Bahar!”
“Siap! Ini sudah mengganggu Kamtibmas, walau tenggen, si Menan harus diamankan!”kata Bahar, Babinsa kampung kami.
“Setuju. Saya putuskan besok kita mulai pencarian!”kata Wali Nagari.
Maka dimulailah pencarian si Menan. Laki-laki dikumpulkan. Mulai dari yang tua sampai muda. Termasuk diriku tentunya. Kami dipecah menjadi beberapa kelompok. Ada yang pergi ke hutan, ke pesawahan, kampung-kampung sekitar dan tempat lain yang memungkinkan.
Sudah 3 hari pencarian, Menan belum juga ditemukan. Ini menimbulkan rasa heran. Kemana si Menan? Jangan-jangan dia disembunyikan Inyiak atau Urang Bunian di tengah rimba. Entahlah. Akhirnya Wali Nagari memutuskan pencarian si Menan dihentikan sementara.
Dua hari kemudian kedai-kedai kopi di kampungku kembali ramai. Apalagi kalau bukan ulah si Menan. Kali ini yang terkena Pak Bahar. SI BAHAR SUKA MENGGODA BINI SI CUIN TTD : MENAN
Berani benar si Menan ini, pikirku. Seolah-olah dia tahu semua kebobrokan petinggi nagari kami. Hal yang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Namun di tangan si Menan seolah mendapat penegasan.
Para petinggi nagari rapat lagi. Kali ini di rumah orangtuaku. Aku yang sedang mempersiapkan UAN jadi terganggu oleh suara mereka.
“Sepertinya kita perlu bantuan orang pintar,” kata Pak Wali.
“Setuju, sekalian kita bungkam si Menan. Kalau perlu pakai Gasiang Tangkurak!” kata Pono.
“Baa lo lai. Dalam agama menghindari kemudharatan lebih utama,” kata Mak Labay berfatwa.
“Saya setuju!” kata Pak Bahar.
“Bagaimana menurut Uda Penghulu?” tanya Pak Wali kepada ayahku.
“Ambo ikut suara terbanyak saja,” seperti biasa ayahku memang biasa bermain aman.
“Besok kita sama-sama ke orang pintar. Kata orang rumahnya di kaki Gunung Marapi,” kata Pak Wali memutuskan. Rapat selesai.
Namun, Menan tetap menghilang. Rupanya kesaktian orang pintar itu tidak mampu melihat keberadaan si Menan. Orang-orang kampung semakin yakin si Menan disembunyikan Orang Bunian. Wali Nagari semakin penasaran, sampai pergi ke beberapa orang pintar.
Dan kampung kami semakin geger. Tiap pekan ada saja tulisan si Menan. Banyak aib orang kampung yang terbuka. Ada si Pono yang memakai pangasiah untuk memikat istrinya Rina. Memang aneh juga Pono yang bertampang pas-pasan itu bisa memperistri Rina yang cantik. Ada juga Tan Kabasaran, Wali Jorong yang menjual tanah ulayat, Pak Zaini, kepala SD yang menggelapkan dana BOS dll.
Anehnya, semua yang ditelanjangi si Menan adalah pejabat di kampung kami. Tak satu pun warga biasa yang terkena tuduhan si Menan. Aku sendiri bersyukur, nama Ayahku tidak disebut.
Semakin hari Nagari kami semakin tidak nyaman. Anak-anak malas mengaji, ibu-ibu mulai mencurigai suami, wali murid tidak percaya kepada sekolah, kemenakan tidak menurut Mamaknya, pemuda terpecah dan yang paling parah adalah sudah mulai ada gerakan mencopot Wali Nagari.
Sampai pada suatu hari, di suatu siang yang terik, di saat orang-orang sibuk dengan aktivitas masing-masing, tiba-tiba dari Mesjid Jami’ terdengar suara azan yang merdu. Jantung saya berdegup kencang, “Itu suara si Menan!” Saya hapal betul itu suara si Menan. Bergegas saya menuju ke Mesjid.
Rupanya saya tidak sendiri. Sesampainya di Mesjid saya lihat orang sudah ramai. Terlihat para pemuda mengepung masjid. Sebagian berteriak sambil mengacungkan golok dan kayu. Suasana sangat gaduh dan berisik.
Wali Nagari dan beberapa pejabat nagari datang dengan muka penuh amarah. Pak Bahar saya lihat malah berseragam lengkap dengan pistolnya.
“Ayo kita masuk!” kata Pak Wali. Pelan-pelan mereka masuk ke dalam masjid. Saking penasarannya, Saya menyelinap sampai pada saf kedua tepat di belakang Pak Wali. Ketika masuk, kami terperanjat. Kaget!
Seorang lelaki berjubah putih, bersorban dengan muka bersih bercahaya memandang dengan senyum kepada kami semua. Lelaki itu adalah si Menan! Iya, kami yakin betul itu si Menan! Tapi kenapa berubah? Bukankah dia gila? Kotor? Bau? Kapan dia sembuh? Dimana dia mendapat pakaian ala Tuanku Imam Bonjol ini?
Kami terdiam dan mematung di depan pintu. Kaki-kaki seolah terpaku ke lantai. Tak seorang pun yang berani mendekat. Suasana menjadi hening. Dengan tenang si Menan berjalan ke arah kami. Ditepuknya pundak Wali Nagari sambil berkata, “Mari kita sholat berjamaah!” []
Tentang Penulis
dr. Fanni Fathihah, adalah pengasuh Rubrik Konsultasi Kesehatan di www.islampos.com. Menyenangi sastra dan tulisan-tulisan bertema politik, sosial, dan budaya.