Oleh : Raidah Athirah
(Perantau di Polandia)
“OALAH Mbak, jauh -jauh keluar negeri hanya untuk belajar ngebungkus makanan sisa toh?”
Mungkin begitulah yang terlintas melihat kebiasaan saya hari ini. Memang benar tempat dimana kita tinggal akan turut serta membentuk karakter hidup.
Sejak menetap di Polandia, saya tak sungkan meminta pegawai restaurant untuk membungkus makanan yang tidak bisa saya habiskan saat itu. Entah mengapa saya sudah tak lagi peduli dengan pandangan orang lain tentang apa yang saya lakukan.
BACA JUGA: Penelitian: 1 dari 5 Kematian di Dunia Disebabkan Makanan
Bukankah salah satu sifat syaitan adalah boros.
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’ [17]: 26-27)
Saya tak pernah malu untuk menceritakan bahwa saya adalah kaki ringkih diantara ribuan pengungsi di tahun 1999.
Dengan segala keterbatasan, Allah Tuhan Yang Maha Memperjalankan membuka jalan dan langkah untuk tetap menyelesaikan pendidikan .
Saya sadar akar dimana saya berasal. Membuang makanan adalah bukan kebiasaan dalam keluarga. Ibu saya adalah sosok paling inspiratif terkait kebiasaan ini. Dan sejak menikah kebiasaan ini semakin kukuh saya pelajari dari Ibu mertua.
Saya pernah bekerja sebagai pembantu ketika masa berada dalam pengungsian di Maluku Utara. Tekanan-tekanan hidup itu telah mengukuhkan hati untuk mengingat nikmat dan kuasaNya.
Maka saya menetapkan kembali hati dan pikiran tentang adab -adab yang baik dalam dunia modernitas yang kadang membingungkan.
Membungkus makanan sisa tidak akan pernah merendahkan derajat saya di mata manusia. Dan lagi bukan urusan saya untuk berlelah hati mencari tahu apa pendapat orang lain tentang saya.
Ingatlah asal saudara! Mengapa demikian? Dengan merenung sejenak akan perjalanan hidup, Saudara akan paham bahwa dibandingkan mengeluh tentang rasa kekurangan, sudah sepantasnya lisan senantiasa mengingat nikmat-Nya.
Siapalah saya hari ini. Hanya seorang fakir. Saya menulis ini untuk terus mengingatkan hati yang rapuh dan mudah silau terhadap dunia .
Pakaian yang indah dan gaya yang elegan tidak akan pernah membuat saya melupakan tempat dimana akar saya tertanam.
Membungkus makanan sisa adalah jati diri saya di negeri orang. Mengapa saya tak lagi malu?
Saya membayar makanan itu dengan hasil keringat. Sudah hak saya untuk membawa pulang makanan yang telah saya bayar. Adapun ketika saya berada dalam pertemuan-pertemuan international saya mengingatkan diri bahwa saya mewakili agama dan bangsa. Tingkah laku menjadi cermin siapa saya.
Sebelum saya menyendokkan makanan ke dalam piring. Saya bertanya kepada diri, betulkah saya akan menghabiskan makanan yang saya ambil? Bila saya kurang yakin, saya mengambil sedikit sekali makanan .
Pengendalian-pengendalian diri akan mengingatkan diri akan rasa syukur.
Mengapa saya menceritakan hal yang mungkin sebagian saudara anggap ” kampungan ”
Waktu itu di akhir tahun 1999. Almarhum Bapak menggandeng tangan kurus gadis kecil mengunjungi sanak keluarga guna meminta bantuan keuangan untuk keperluan membeli baju seragam .
BACA JUGA: Dianjurkan Alquran, 4 Makanan Ini Menyehatkan
Makanan jangan ditanya. Apa yang ada kami makan, tak ada. Kami bersabar.
Di situlah titik balik dan pengingat setelah pikiran “putus asa ” melihat keadaan yang serba tak mungkin.
Almarhum Bapak saya selalu membawa makanan ke rumah walau hanya dua atau tiga potong kue singkong yang sudah diolah sedemikian lezat.
Dengan pengingat inilah saya mendudukkan diri saya hari ini dalam pergaulan dengan sesama manusia.
Membungkus makanan sisa, nikmat mana lagi yang harus didustakan?
Polandia,12 Desember 2018. []