Oleh: Ustadz Dede Nurjannata, S.Pd.I
Da’i di Majelis Dakwah Islam Nusantara (Madina)
MASIH ingatkah kita kisah tentang seorang ibu yang terpaksa memasak batu untuk anak-anaknya karena sulitnya ekonomi? Saat itu hujan abu meliputi jazirah Arab, pohon-pohonan kering, hujan tak kunjung datang.
Seorang gadis kecil menangis meminta makan karena rasa lapar, sebab sejak pagi belum makan hingga sore hari, sementara sang ibu, janda, terpaksa memasukan batu ke dalam panci untuk menghibur anaknya yang kelapran.
Sore itu Amirul mukminin Umar bin Khattab sedang blusukan memantau dan mencari mana rakyatnya yang kelaparan dan tidak makan. Di depan pintu rumah itu Umar bin Khattab mendengar tangisan gadis kecil yang kelaparan itu, sementara seorang ibu dari gadis kecil itu di dapur sedang membalik balikan sesuatu yang ada di dalam panci, Umar bin Khattab berkata: “Apa yang anda masak wahai ibu?” Lihatlah sendiri! Jawab ibu itu. Ketika Umar bin Khattab melihatnya ternyata ibu itu sedang memasak batu untuk Anaknya hendak ‘berbuka puasa’. Umar bin Khattab menagis, air matanya terus mengalir, sementara ibu dari anak itu tidak tahu kalau yang ada di depan matanya adalah Amirul Mukminin. Ibu itu terus memaki-maki Umar bin Khattab sebagai pemimpin yang tidak bertanggung jawab. Umar bin Khattab terus menangis, Ia kemudian pulang ke Madinah, dan malam itu juga ia memanggul gandum dengan pundaknya sendiri dalam perjalanan yang cukup jauh.
Umar bin Khattab sangat khawatir kalau karena hal itu ia dimasukkan ke dalam neraka. Duhai Al Faruq betapa mulianya Akhlakmu, seorang khalifah Islam yang blusukan setiap malam untuk mengontrol rakyatnya.
Sekilas kisah di atas hanya sekedar ingin mengambarkan tentang tanggung jawab yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Namun jika difahami lebih dalam kita akan mendapatkan bahwa kisah di atas selain mengandung kewajiban seorang pemimpin untuk memperhatikan keadaan bahwahannya atau orang yang menjadi tanggung jawabnya, terdapat pesan pula kepada seluruh orang beriman untuk memperhatikan antara satu sama lain.
Mengapa demikian?, karena datangnya Umar bin Khattab ke rumah ibu tersebut tidak hanya karena motivasi ia sebagai pemimpin yang bertanggug jawab di kala itu, namun lebih kepada sikap untuk saling tolong menolong antara sesama muslim. Kalaupun ia melakukan hal itu karena sekedar ingin menjalankan tugas sebagai khalifah maka mudah saja baginya untuk melibatkan pengawal atau bawahan beliau untuk blusukan di malam hari dan tidak memanggul gandum dengan pundaknya sendiri.
Kisah ini harusnya menjadi pelajaran buat setiap orang mukmin, para ulama, ustadz yang punya banyak umat, Juga tentunya para pemimpin umat. Perhatikanlah bagaimana ekonomi teman dan saudara kita, murid-murid pengajian. Apakah anak-anak mereka dalam keadaan kenyang, istri dan anak mereka yang sedang sakit sudahkah kita menjenguknya?, Lebih baik lagi jika kita menggalang dana untuk meringankan beban bila mereka membutuhkan.
Perhatikanlah hadits yang menjelaskan tentang keutamaan menolong dan memperhatikan saudara sesama muslim, yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda:
مَنْ نَـفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُـرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا ، نَـفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُـرْبَةً مِنْ كُـرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَـى مُـعْسِرٍ ، يَسَّـرَ اللهُ عَلَيْهِ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَمَنْ سَتَـرَ مُسْلِمًـا ، سَتَـرَهُ اللهُ فِـي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ ، وَاللهُ فِـي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ.
“Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allâh melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat. Barangsiapa memudahkan (urusan) orang yang kesulitan (dalam masalah hutang), maka Allâh Azza wa Jalla memudahkan baginya (dari kesulitan) di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allâh akan menutup (aib)nya di dunia dan akhirat. Allâh senantiasa menolong seorang hamba selama hamba tersebut menolong saudaranya.” (HR. Muslim no. 2699)
Ketika seorang mukmin ingin urusan dunia akhiratnya dipermudah maka cara yang dianjurkan Rasulullah adalah hendaknya ia membantu meringankan kebutuhan saudaranya, menjadi penolong ketika saudara sesama muslim membutuhkan pertolonannya. Sebab Allah akan senantiasa membantu orang yang membantuk saudaranya.
Keutamaan lainnya disebutkan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyah beliau berkata:
ﺭُﺑَّﻤَﺎ ﺗَﻨَﺎﻡُ ﻭَﻋَﺸَﺮَﺍﺕُ ﺍﻟﺪَﻋَﻮَﺍﺕِ ﺗُﺮْﻓَﻊُ ﻟَﻚَ ﻣِﻦْ ﻓَﻘِﻴْﺮٍ ﺃَﻋَﻨْﺘَﻪُ ﺃَﻭْ ﺟَﺎﺋِﻊٍ ﺃَﻃْﻌَﻤْﺘَﻪُ ﺃَﻭْ ﺣَﺰِﻳْﻦٍ ﺃَﺳْﻌَﺪْﺗَﻪُ ﺃَﻭْ ﻣَﻜْﺮُﻭْﺏٍ ﻧَﻔَﺴْﺖَ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﻼَ ﺗَﺴْﺘَﻬِﻦَ ﺑِﻔِﻌْﻞِ ﺍﻟﺨَﻴْﺮِ ﺃَﺑَﺪﺍً .
“Bisa jadi engaku sedang tidur namun do`a-do`amu dikabulkan, karena orang fakir yang engkau tolong, orang yang lapar yang engkau beri makan, orang yang sedih yang engkau bahagiakan, orang yang sedang kesusahan yang engkau beri solusi kepadanya, maka janganlah sekali-kali meremehkan dengan perbuatan baik.”(Ad Da’ Wa Ad Dawa’, Ibnu Qayyim Al Jauziyah)
Cukuplah seseorang dikatakan sebagai orang zalim ketika ia malam harinya telah kenyang bahkan makanan dirumahnya masih tersisa, padahal tetangganya tidur dalam keadaan menahan lapar karena tidak ada makanan.
Cukuplah seseorang dikatakan zalim ketika ia mampu tertawa terbahak-bahak padahal tetangganya sedang dirundung kesedihan sedang iapun acuh tak acuh dengan keadaannya.
Mari kita belajar dengan kisah sahabat mulia Umar bin Khattab dan mampu mempraktekkannya di dalam kehidupan nyata. Semoga Allah satukan kita dalam jalinan yang kuat dalam suka dan duka.
Sekali lagi bukan salahnya ibu memasak batu, tapi sangat disesalkan jika Umar bin Khattab tak datang k rumahnya. Wallahu a’lam. []