JIKA kita berhadapan dengan dua maslahat, baik maslahat yang hanya berkaitan dengan diri sendiri (mashlahah qashirah) maupun yang manfaatnya meluas kepada orang lain (mashlalah muta’addiyyah), dan kita tidak mampu mewujudkan dua maslahat itu sekaligus, maka kita perlu memilih kemaslahatan yang lebih besar, meski resikonya satu kemaslahatan lagi harus ditinggalkan.
Sebagai contoh:
1. Jika kita hanya sempat melakukan salah satu dari ibadah, yang satu wajib, sedangkan lainnya sunnah, maka kita lakukan yang wajib.
3. Antara kewajiban yang sempit waktunya (mudhayyaq) dan yang lapang waktunya (muwassa’), kita dahulukan yang sempit waktunya, karena itu lebih mendesak dan dikhawatirkan kita kehilangannya jika tidak dikerjakan saat itu, berbeda dengan yang lapang waktunya.
BACA JUGA:Â Menghilangkan Mafsadat Lebih Penting dari Meraih Maslahat
4. Jika ada dua kewajiban, yang satu lebih wajib, maka kita dahulukan yang lebih wajib tersebut.
Demikian juga, jika ada dua hal yang memiliki keutamaan, salah satunya lebih besar keutamaannya (afdhal), maka kita dahulukan ia dibandingkan yang lain.
5. Jika hanya ada sedikit air untuk thaharah, kita prioritaskan air itu untuk mandi janabah dan memandikan jenazah dibandingkan untuk wudhu.
6. Jika kain untuk menutup tubuh terbatas, maka memberikannya untuk perempuan lebih prioritas dibandingkan untuk laki-laki.
7. Jika kain terbatas, maka menggunakannya untuk menutup aurat harus didahulukan dari menutup anggota tubuh lain. Dan jika untuk menutup aurat tidak cukup, maka menutup qubul dan dubur diutamakan dibandingkan aurat lainnya.
8. Jika waktu shalat sudah hampir habis, dan kita ada kewajiban shalat fardhu pada waktu tersebut, sekaligus juga ada shalat yang harus diqadha, kita dahulukan melaksanakan shalat ada’ dibandingkan mengqadha shalat yang ketinggalan.
BACA JUGA:Â Ekonomi Islam untuk Kemaslahatan Dunia Akhirat
9. Istinja dengan air lebih utama daripada istijmar dengan batu.
10. Jika bisa berwudhu dengan air, maka tidak boleh tayammum dengan tanah.
11. Menyelamatkan nyawa orang yang tenggelam harus didahulukan dari mengerjakan shalat. Terlebih, jika kita menyelamatkan nyawa, kita tetap bisa mengerjakan shalat tersebut, meskipun dengan qadha.
Wallahu a’lam. []
Rujukan: Al-Istidlal Bi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah ‘Inda Asy-Syafi’iyyah, karya Dr. ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As-Saqqaf, Halaman 455-456, Penerbit Dar Adh-Dhiya, Kuwait.
Facebook: Muhammad Abduh Negara