SUASANA di ruangan itu sangat anggun, akrab, sekaligus sakral. Para ulama berkumpul atas undangan Khalifah Daulah Umayyah, Abdul Malik bin Marwan yang berwibawa. Ini merupakan kebiasaan khalifah saat dirundung masalah.
Saat itu hadir pula seorang pemuda belia, 22 tahun usianya. Tegap sosoknya, tampan wajahnya, dan tajam sorot matanya. Keponakan khalifah, Umar bin Abdul Aziz namanya.
BACA JUGA: Suami Itu Harus Lembut, karena…
Khalifah bertanya pada para ulama, pada hadirin yang hadir di sana. Kurang lebih pertanyaannya, “Bagaimana memilih suami yang baik bagi putriku, Fatimah?”
Hadirin menjawab dengan versinya masing-masing, setiap orang menjawab sesuai kapasitas keimuan yang dimilikinya. Mantap, tegas dan meyakinkan.
Umar bingung, grogi, takut ditanya, takut pula salah jawabannya. Bibirnya yang kelu diperparah dengan perasaan aneh yang bersemayam di hatinya.
Ya, sejak dulu diam-diam hati Umar mengagumi Fatimah. Tapi segan, tak berani melamar dan menikahinya. Jangankan melamar, mengungkapkan rasa itu saja tak memiliki cukup keberanian.
“Nikahkanlah putrimu,” ujar Khalifah mengutip nasihat Imam Hasan Bashri, “Dengan orang yang bertakwa. Kalau dia mencintainya, maka dia akan memuliakannya. Kalau tidak menyukainya, dia tidak akan menghinanya.”
Semua orang senang, semua orang puas dengan ungkapan khalifah. Nasihat yang sederhana, tapi amat berharga. Nasihat singkat dan mudah dimengerti.
Tapi Umar bingung, takut dan salah tingkah. Dia hanya duduk terpekur, menunduk dan mengatur napas pelan.
BACA JUGA: Agar Para Suami Mengerti
“Umar,” seru khalifah menyentak hati yang gusar, “Engkau tahu Fatimah itu putri yang paling kucintai, maka hari ini aku akan menikahkanmu dengannya. Jagalah dia!”
Umar terlonjak, kaget, takut dan malu. Tapi bahagia, hatinya berbunga-bunga.
Sesungguhnya Fatimah adalah wanita istimewa, putri khalifah, cucu khalifah. Sejarah mencatat wanita ini dikelilingi 12 orang mahram yang menjadi khalifah, termasuk nanti suaminya pun jadi khalifah…
[]