Oleh: Sri Bidadari Azam
“BAGAIMANA caramu sewaktu bisa makan kembali, padahal berminggu-minggu kehilangan selera makan seusai berita duka yang dialami?” tanya saudariku.
Ada pula yang berucap, “Pada saat melewati hari-hari penuh luka itu, bagaimana sih supaya tidak makin ‘drop’ atau depresi?” “Apa tipsnya supaya lega melalui kedukaan dan suasana perih itu?” dan pertanyaan sejenis lainnya ditujukan padaku, beberapa bulan yang lalu.
Cukup dimaklumi, seminggu sebelum terbang ke Kuala Lumpur untuk melepas kerinduan bersamaku dan keluarga di sini, mamanda tercinta telah terlebih dahulu dijemput malaikat mautNya. Istilah bisikan hati, “aku sudah mengharapkan banget bahwa hari itu menjemput beliau di bandara KLIA, ternyata takdirNya berbeda, justru beliau tak dapat kujemput lagi di KLIA sampai bila-bila masa…”
Duuuh, benar kata pak ustadz dan bu ustadzah yang rajin berbagi tausiyah, kalau hati kita terluka atau komplikasi problema datang di depan mata, seringkali kita lupa bersyukur, mewek dan enggan menghiasi wajah dengan senyuman. Padahal ‘bencana’ dalam pandangan mata kita adalah tetap hal terbaik dariNya sebagai ketetapan perjalanan hidup ini. Astaghfirrulloh…
Setidaknya ada tiga tips kudapat dari sahabat-sahabat sholih dan sholihat di sekitarku tatkala melalui ragam problema gejolak hati sesaat usai hentakan itu.
1. Lupakan ‘masa lalu’, yang dikenang adalah segala sesuatu yang membawa asa dan pengukir senyum senang. Duka dan kesedihan timbul karena seringnya mengenang masa lalu yang menyedihkan, semisal hal-hal di saat masih kecil berbuat ulah yang merisaukan orang tua dan keusilan. Mengingat dan mengenang ‘masa lalu’, lalu merasa paling nestapa rasanya adalah suatu kesia-siaan. Karena ‘masa lalu’ (yang dalam tanda kutip itu) telah dilewati dengan penuh pelajaran. Dan bukankah Allah SWT telah melimpahkan taufiq dan hidayahNya untuk memperbaiki diri, sehingga masa kedukaan telah terhapus dan berganti dengan semangat memperbaiki kualitas diri di setiap langkah? Sosok orang tua tercinta pun telah bahagia melihat metamorfosa anak-anaknya dalam menggapai perbekalan hidup.
Selamatkan diri kita dari penyakit ‘masa lalu’ yang membawa penyesalan dan pengandaian-pengandaian, ini merupakan celah godaan setan, naudzubillah… faghfirlii…
Sibuk menyesali kejadian yang merupakan takdirNya adalah sebuah sikap menyia-nyiakan masa depan, maka penghias rasa hati kala kejadian seperti ini adalah memperbanyak istighfar. Kalaupun seluruh jin dan manusia bersatu untuk mengembalikan semua yang telah terjadi, niscaya tak akan pernah mampu, sebab kita semua memang di dalam kekuasaanNYA.
2. Hidup adalah hadiah dan anugerahNya hari ini, wujud syukur kita adalah saat ini juga. Bukan ‘sibuk mikirin’ hari kemarin yang telah berlalu dengan segala kebaikan dan keburukannya dalam sensitive jiwa kita, dan juga bukan esok hari yang belum tentu datang. Otomatis, kalau hari ini ada tugas dan amanah, maka lebih baik langsung sibuk menyelesaikannya, “Belum tentu ketemu hari esok!” ini menjadi cambuk agar jauh dari resah, sedih dan gelisah.
Duka terhapus saat menyadari bahwa hidup kita ‘hanya saat ini dan sementara saja’, sebab sudah banyak orang terdekat kita yang melesat pergi melalui alam selanjutnya sebagai bukti ke-Maha Kuasaan Sang Khaliq.
Silakan kita merancang segenap jadwal dengan maksud menata kedisiplinan diri agar semua kegiatan adalah bernilai ibadah dalam barokah dan ridhoNya, lalu silakan pula kita persiapkan kemantapan hati untuk menerima qodho dan qodarNya apabila ternyata jadwal tersusun itu tidak dapat dijalani beberapa poinnya atau bahkan semuanya tidak bisa berjalan dengan baik. Tugas kita hanya berikhtiar, menjalani proses dengan ketaatan, bukan memikirkan ‘hasil’.
Pada detik inilah sebaiknya seluruh perhatian, kepedulian, dan kerja keras kita nikmati, “Cukup teguhkan niat karena Allah ta’ala, kokohkan usaha dengan memegang rambu-rambu Allah ta’ala, dan camkan dalam hati, ‘terserah hasilnya nanti adalah urusan Allah SWT’ inilah yang terbaik. Cukuplah Allah SWT sebagai sandaran.”
3. Percaya penuh pada balasanNya. Banyak orang percaya oleh ramalan-ramalan tentang kekayaan, kemiskinan, wabah penyakit, krisis ekonomi, kejatuhan cicak, piring pecah membawa sial, dsb yang kabarnya akan menimpa mereka. Banyak yang percaya pada firasat ini-itu seolah mendahului takdirNya. Bahkan orang-orang ‘hampir 100%’ percaya pada hal duniawi seperti contohnya jadwal penerbangan, sudah bayar online duluan, mempersiapkan masa check-in, dst yakin bahwa beberapa jam terbang, tiba di tempat tujuan. Padahal ternyata bisa jadi penerbangannya terlambat, ditunda atau bahkan batal berangkat. Bahkan ada yang meninggal dunia dalam penerbangan, sehingga tak bernyawa lagi ketika mendarat di tanah.
Sedangkan Allah SWT selalu maha menepati janjiNya. Kenapa kita sering lupa bahwa separah apa pun luka di dunia, sungguh Allah SWT punya balasan terindah sebagai obatnya?
Duhai sanubari, percayakah bahwa Allah SWT selalu memberikan yang terbaik dan maha adil di setiap karunia balasanNya?
“…Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” [qs. Al-Ahzab/33 :38]
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (ujian) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (qs. Al-Baqoroh :214)
subhanalloh kita sering lupa bahwa jika rajin ‘menghitung-hitung’, maka seluruh problema dan kesedihan yang ada adalah hal kecil dan jumlahnya amat sedikit dibandingkan dengan segala limpahan kenikmatan yang kita rasakan hingga detik ini.
Aku lupa bahwa kakiku masih bisa berjalan dengan gerakan tangan yang masih cekatan menggandeng tangan bapak dan kakak-kakak kala bersama memandikan dan mengafani jenazah mamanda tercinta. Aku lupa bahwa nafasku masih lancar dan badanku sehat segar bugar sehingga dapat menegakkan sholat jenazah dan meraup limpahan pahala dariNya. Aku lupa bahwa ia yang telah pergi bukanlah karena keinginan pribadinya, melainkan ia telah diperintahkan Allah SWT untuk melanjutkan perjalanan dengan beristirahat di alam barzah. Aku lupa, sungguh lupa bahwa seluruh organ tubuh kita, sepaket dengan nyawa yang melekat di badan adalah titipanNya semata, dan setiap jengkal sel-sel tubuh kita tunduk dan taat pada Yang Menciptakannya. Faghfirlii…
Allahumma anta rabbi laa ilaaha illa anta khalaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatha’tu a’uudzu bika min syarri maa shana’tu. Abuu`u laka bini’matika ‘alayya wa abuu`u bidzanbi faghfirli. fa innahu laa yaghfiru adz-dzunuuba illa anta.
[Ya Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau].” (HR. Bukhari no. 6306) Wallohu a’lam.
Pada rasa sedih, Engkau limpahkan pelajaran dan kegembiraan
Pada kesulitan, Engkau limpahkan anugerah kemudahan
Pada ragam tantangan, Engkau limpahkan semangat dan asa
Pada setiap ujian, Engkau limpahkan hadiah dan samudera nikmat hati nan lapang
Pada kendala dan cobaan di setiap perjalanan, Engkau limpahkan bergunung kekuatan dalam jiwa
Pada raga yang lelah dan resah, Engkau limpahkan dengan hujan rahmat dan kucuran hidayahMu
Semua kenikmatan yang mahal, Engkau curahkan sebagai bukti betapa Maha Pemurah, duhai Allah….
@bidadari_Azzam, KL Ramadhan 1436h