ADA yang bertanya, untuk menentukan kapan kita shalat, kita cukup mengacu pada jadwal waktu shalat, tanpa harus mengamati pergeseran matahari secara langsung, atau menancapkan tongkat di bawah terik matahari untuk melihat panjang bayangannya.
Lalu mengapa untuk menentukan awal puasa, kita harus melihat hilal (bulan sabit tanda munculnya awal bulan), mengapa tidak cukup dihitung saja secara astronomis?
Dua hal ini memiliki perbedaan. Untuk masuknya waktu shalat, yang diperintahkan adalah shalat pada waktunya, tanpa ada perintah pada kita untuk melakukan tindakan tertentu untuk mengetahui waktu shalat tersebut.
Penjelasan waktu-waktu shalat oleh para fuqaha, yang mengikuti pergeseran matahari atau melihat warna langit, mengacu pada Hadits-Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak menuntut kita untuk melihat pergeseran matahari atau warna langit itu secara langsung setiap waktu shalat.
BACA JUGA: Apa Itu Rukyat, Hilal dan Hisab?
Karena itu, mengacu pada jadwal waktu shalat yang sudah ditetapkan melalui perhitungan astronomis, sudah cukup.
Sedangkan penentuan awal puasa Ramadhan, ada perintah spesifik untuk melihat (ru’yah) munculnya hilal secara langsung. Nabi bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
Artinya: “Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (‘Idul Fithr) karena melihat hilal.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Karena itu, mayoritas fuqaha klasik menyatakan bahwa awal Ramadhan hanya bisa ditetapkan (itsbat) dengan ru’yah hilal atau menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari jika hilal di malam ke-30 tidak terlihat.
Tidak bisa dengan perhitungan astronomis, karena itu menyelisihi nash Hadits yang memerintahkan ru’yah.
Namun hal ini sebenarnya masih bisa dikritisi. Yang patut ditanyakan adalah, apakah perintah melihat hilal itu perkara ta’abbudi, yang tinggal kita terima saja dan tidak boleh ditinggalkan, sebagai bentuk ketundukan kita pada Allah ta’ala dan Rasul-Nya, atau ia perkara ta’aqquli, yang bisa dinalar oleh akal dan dipahami maksud dan tujuannya, sehingga jika tujuannya bisa dicapai dengan cara lain, maka cara untuk mencapai tujuan tersebut bisa diganti?
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, dalam “Al-Madkhal Li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyyah”, saat membahas hal ini, menyatakan:
“Dulu melihat dengan mata itu merupakan wasilah yang mudah dilakukan, mampu dilakukan oleh kebanyakan orang di masa itu, karena itu Hadits datang dengan menyebutkan wasilah itu.
Seandainya Nabi membebani mereka dengan wasilah lain, seperti hisab falaki (perhitungan astronomis), sedangkan umat Islam di masa itu buta huruf, tidak bisa menulis dan berhitung, maka itu akan membuat mereka jatuh dalam kesulitan.
Sedangkan Allah menginginkan kemudahan bagi umat-Nya, bukan kesulitan. Nabi ‘alaihish shalatu was salamu berkata tentang diri beliau sendiri:
إن الله بعثني معلما ميسرا ولم يبعثني معنتا
Artinya: “Allah mengutusku sebagai orang yang mengajarkan ilmu lagi memberikan kemudahan, dan tidak mengutusku untuk mempersulit orang-orang.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Dan ketika ditemukan wasilah lain yang lebih mampu mewujudkan tujuan dari perintah yang disampaikan Hadits, dan lebih kecil kemungkinannya keliru, salah atau ada kedustaan dalam penetapan masuknya bulan, dan wasilah tersebut saat ini mudah dilakukan, bukan sesuatu yang sangat sulit atau di atas kemampuan umumnya manusia.
Saat ini pun sudah banyak para ahli di bidang astronomi, geologi dan fisika, di tingkat dunia. Sains yang dikembangkan manusia pun telah mampu membawa mereka naik ke bulan, berjalan di atas permukaannya, dan mengambil sampel bebatuan dan tanahnya.
Lalu mengapa kita harus bersikap jumud terhadap wasilah, padahal ia bukanlah tujuan yang dituju oleh Hadits, dan mengabaikan tujuan yang ditunjukkan oleh Hadits tersebut?!”
Al-Qaradhawi menganggap ru’yah hilal bukanlah tujuan dari perintah Nabi صوموا لرؤيته… atau لا تصوموا حتى تروا الهلال, ia hanyalah wasilah yang mudah dilakukan oleh umat Islam saat itu. Tujuan perintah itu sendiri adalah mengetahui kapan awal Ramadhan itu, sehingga setiap muslim bisa puasa Ramadhan satu bulan penuh, tanpa ketinggalan satu hari pun.
Bagi beliau, ini bukan perkara ta’abbudi yang mengharuskan kita tetap memilih ru’yah hilal sebagai cara penentuan awal Ramadhan, yang peluang kelirunya cukup besar, padahal ada cara lain yang jauh lebih akurat untuk mengetahui masuknya bulan, yaitu perhitungan astronomis atau hisab falaki.
BACA JUGA: Kejadian Lucu, Tatkala Khilal Tertutup Uban
Ditambah, dalam salah satu riwayat dikatakan:
فإن غم عليكم فاقدروا له
Artinya: “Dan jika hilal terhalang dari pandangan kalian, maka perkirakanlah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Menurut Al-Qaradhawi, lafazh فاقدروا itu membuka peluang diterimanya hisab falaki dalam penentuan masuknya bulan Ramadhan.
Begitu juga, sabda Nabi, “Kita umat yang buta huruf, tidak bisa menulis dan berhitung”, menurut beliau, itu tidak menafikan bolehnya ilmu hisab dalam penentuan masuknya bulan Ramadhan. Itu cuma menunjukkan realita di masa itu.
Seandainya Hadits tersebut dipahami sebagai penafian terhadap hisab, berarti ia juga berisi penafian terhadap aktivitas menulis, dan tidak ada seorang pun yang menyatakan aktivitas menulis itu tercela dan tak boleh dilakukan oleh seorang muslim.
Wallahu a’lam bish shawab. []
Facebook: Muhammad Abduh Negara