NAMANYA Sirryy Siqthy. Sering juga disebut dengan As-Sukarti. Gara-gara mengucap hamdalah, ia menangis memohon ampun kepada Allah selama tiga puluh tahun. Ia beristighfar setiap hari, setiap saat ia ingat, karena menyesali ucapan alhamdulilah yang pernah keluar dari mulutnya.
Ketika ditanya bagaimana ia bisa berlaku demikian, Sukarti menuturkan:
“Saat itu aku punya sebuah toko di Baghdad. Suatu saat aku mendengar berita bahwa pasar Baghdad hangus dilalap api. Toko yang kumiliki berada di dekat pasar tersebut. Aku bersegera pergi ke sana untuk melihat apakah tokoku juga terbakar atau tidak. Seseorang berkata kepadaku, ‘Api tidak sampai di tokomu.’ Aku pun mengucapkan alhamdulillah.
BACA JUGA: Menangis Selama 30 Tahun karena Hamdalah
“Setelah itu aku berpikir,” kata Surkati melanjutkan ceritanya, “Apakah hanya engkau saja yang berada di dunia ini?
“Tidakkah ada empat toko lainnya yang terbakar. Tokomu memang tidak terbakar, tetapi toko-toko lainnya terbakar. Ucapan alhamdulilah berarti bahwa engkau bersyukur api tidak membakar tokomu. Jadi, engkau rela toko orang lain terbakar asalkan tokomu tidak terbakar.”
Sukarti kemudian melanjutkan ucapannya, “Aku berkata lagi pada diriku,”Tak adakah barang sedikit rasa sedih atas musibah yang telah menimpa kaum Muslimin, hai Sirriy?”
Sukarti kemudian mengutip hadis Nabi SAW, “Barangsiapa melewatkan waktu paginya tanpa memerhatikan urusan kaum muslimin, maka tidaklah dia termasuk dari mereka.”
Ketakutan Sukarti kalau-kalau tidak termasuk golongan kaum muslimin inilah yang menyebabkan ia menangis terus-menerus selama tiga puluh tahun. Setiap hari ia dibayang-bayangi oleh rasa bersalah tentang betapa nista dirinya karena tidak ada bela sungkawa kepada saudaranya sesama muslim yang ditimpa bencana. Ia merasa menyesal karena di saat saudaranya sesama muslim ditimpa bencana, ia justru mengucapkan alhamdulilah. Bukan pernyataan bela sungkawa.
Kisah Surkati ini terasa begitu mendesak untuk kita baca. Hari ini, ketika perasaan kita telah mati dan itsar sudah nyaris terkikis habis, kita perlu berkaca sejenak pada pribadi-pribadi menakjubkan semacam Surkati. Jika ia menangis memohon ampunan hanya karena mengucapkan hamdalah, masih pantaskah kita mengaku umat nabi Muhammad?
BACA JUGA: Mengapa Pohon Kurma Itu Menangis?
Layakkah kita mengharap syafaat Rasulullah SAW, sementara kita tidak pernah memerhatikan kerabat dan keluarga yang kekurangan, ataupun tetangga yang merintih kelaparan? Layakkah kita mengharap surga bersama Nabi dan para syuhada, sedangkan kita tidak pernah mau menyisihkan sedikit dari harta kita untuk tetangga yang nyaris putus asa hidupnya? Sedangkan kata Nabi SAW,”Kelak di hari akhirat, ketika penduduk neraka ditanya penghuni surga mengapa mereka masuk neraka, mereka menjawab,’Dahulu kami tidak melakukan shalat dan tidak memberi makan orang miskin’, (QS. Al Muddatsir [74]:43-44).” Waallahu’alam []
Sumber: Mencari Ketenangan di Tengah Kesibukan/Karya: Mohammad Fauzil Adhim/Yogyakarta: Pro-U Media