Oleh: Nita Lutfiani, Mahasiswi UIN Sunan Gunung Djati Bandung Jurusan Tekhnik Informatika
Manakala sesuatu yang tidak kita harapkan menimpa pada diri atau keluarga, tanpa sadar sering kali kita termenung memikirkan kata-kata ‘barangkali’ atau ‘jikalau’. Kalau saja tadi tidak berbuat begitu, barang kali hal yang tidak kita inginkan tidak terjadi.
Dua patah kata tersebut memang nikmat, artinya selalu membuat diri serta hati kita terlena. Kita menjadi ikut terbuai oleh lamunan. Padahal keadaan seperti itu sama sekali tidak menguntungkan. Imam Ghazali mengatakan, kebiasaan terlena oleh ‘jikalau’ dan ‘barangkali’ itu hanya membimbangkan hati saja, disamping juga akan menyia-nyiakan waktu. Waktu yang mahal akan dibuang secara percuma, karena waktu yang sudah berlalu tidak akan bisa kembali sekalipun dibeli dengan uang melimpah.
Tapi banyak dari kita menghilangkan kata-kata ‘jikalau’ dan ‘barangkali’ dari dalam hati pada saat ditimpa perasaan duka itu bukan lah persoalan mudah. Kegundahan atau kekecewaan yang mendalam akan membuat hati kita rapuh. Sebab hati yang rapuh memang merupakan lahan subur untuk tumbuh nya berbagai lamunan.
Padahal, dengan mengumbar lamunan seperti itu, sama saja dengan menjauhkan diri dari kesadaran tentang takdir Allah. Tidak akan terjadi apa-apa kepada kita kecuali yang sudah ditakdirkan Allah. Sebab, Allah itu pelindung yang paling baik untuk kita, sebab Allah memiliki kekuasaan, kebijakan dan belas kasihnya yang tanpa batas. Maka kepada Allah jugalah kita menyerahkan segala urusan.
Di sinilah sebenarnya makna tawakal yang harus kita tanamkan dalam diri kita. Dengan tawakal berarti apa saja yang telah diputuskan oleh Allah, semua akan terjadi, dan semua itu pasti ada hikmahnya.
Tapi rata-rata ilmu kita tidak mudah begitu saja untuk sampai kesana. Berbagai kepentingan yang kita pandang akan baik buat diri kita, akan datang mengganggu dan mempengaruhi. Kita akan selalu berpendapat, musibah yang menimpa diri kita atau keluarga kita akan selalu terasa kurang baik. Sebab yang kita harapkan adalah kebalikannya.
Padahal dalam Al-Quran sendiri telah menjelaskan, bahwa apa yang kita pandang baik buat diri kita belum tentu baik dalam pandangan Allah ataupun orang lain, dan bisa sebaliknya pula, apa yang kita pandang tidak baik belum tentu menurut Allah tidak baik pula. Dalam kabut misteri ini lah kadang jiwa kita terumbang-ambing.
Maka dari itu, saat situasi seperti ini menimpa kita maka kita harus ikhlas dan sabar dalam menerima juga menghadapinya. Ikhlas dalam hal ini bisa diartikan menyadari sepenuhnya bahwa kemampuan kita sangat terbatas, ada kekuasaan Allah yang amat besar yang tak mungkin tertolak oleh apapun dan siapapun.
Kita juga mesti sabar bahkan bersyukur karena masih beruntung tidak tertimpa musibah yang lebih besar. Semua ini bisa jadi pedoman untuk selalu bersyukur, bersabar dan ikhlas. []