Oleh: Ustaz Felix Siauw
AKU tahu bahwa ilmu itu takkan pernah menyatu dengan maksiat, tapi tetap saja aku tak bosan-bosan melakukannya. Itulah mengapa kebodohan tetap membersamaiku.
Aku tahu dosa itu candu, tapi aku masih meyakinkan diriku, bahwa ini dosa yang terakhir, tak ada lagi dosa setelahnya, aku sadar itu mantranya syaitan, tapi aku terus tertipu.
Aku paham perkara melalaikan itu menjauhkanku dari hal yang harusnya aku capai. Tapi hal-hal yang remeh itu sangat-sangat menyenangkanku, sementara prestasi menjauhiku.
Meski banyak dosaku, aku enggan beristighfar. Meski meluber kesalahanku, aku tak henti membuat yang baru. Terus-menerus tinggalkan tanggung jawab padahal akan dihisab.
Entah bagaimana hidup ini bila Allah adil kepadaku. Bila satu kebaikan dibalas satu, satu dosa dibalas satu. Maka takkan punya kesempatan aku berdiri di hadapan Ar-Rahmaan.
Tak ada yang membuatku berharap kecuali ampunan Tuhanku. Tapi aku malu meminta ampunan-Nya setelah apa yang aku lakukan pada-Nya, mengabaikan dan meremehkan-Nya.
Bertambah-tambahlah rasa malu itu, tatkala aku menemukan Tuhanku menanti diriku senantiasa, kapanpun aku siap, kapanpun aku mau, sebetapapun aku jauh melangkah.
Kalimat itu menghancurkanku. “Bila hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang aku”. “Aku dekat”. Sedekat itu hingga Tuhanku langsung berbicara padaku.
Kini aku bertanya pada hatiku. Sampai kapan engkau ingin begini? Sampai kapan engkau terus mengabaikan Tuhan yang tak henti-hentinya mencintai dan menyayangimu? []