Oleh: Najmawati Annisa
“KAMUÂ itu kayak ustadz/ustadzah aja, deh.”
“Biarin aja, dong, aku seperti ini. Kamu siapa sih, sok ngatur-ngatur?”
“Memangnya dirimu sendiri sudah baik?”
Kalimat-kalimat di atas acapkali didengar saat kita berupaya mengajak orang lain pada kebaikan. Berupaya menasihati dalam kebenaran atau mengingatkan atas kesalahan yang dia lakukan.
Atau, boleh jadi kalimat-kalimat tersebut justru terlontar dari mulut kita sendiri, saat orang lain menyampaikan saran dan masukan terhadap apa yang kita lakukan. Duh, kalau seperti ini, nampaknya kita perlu banyak-banyak memohon ampun pada Sang Maha Kaya. Karena sulitnya diri menerima kebaikan adalah pertanda bahwa kita sedang berkubang dalam keburukan.
BACA JUGA:Â Nasihat Kebahagiaan Ibnu al-Jauzy
Nasihat dan saran yang disampaikan orang lain, memang tidak bisa lantas diterima begitu saja. Perlu cek dan ricek dulu, apakah yang dia sampaikan itu benar atau tidak. Jika yang disampaikannya benar dan disertai bukti yang kuat, maka lebih baik bila nasihat dan saran tersebut dijadikan acuan untuk perbaikan.
Dalam hal ini, kita bisa berpedoman pada sebuah kalimat bijak: “Lihatlah apa yang dikatakan dan jangan melihat siapa yang mengatakan.” Nasihat kebaikan dan kebenaran itu datangnya boleh dari mana saja. Mau presiden, selebriti, ustad, orangtua, kakak, teman sebaya, atau justru orang yang lebih muda dibanding kita. Tidak perlu mempermasalahkan siapa yang menyampaikan, yang terpenting adalah kebenaran dan kebaikan yang disampaikannya.
Nah, ketika kita yang menyampaikan kebenaran dan kebaikan itu, perlu diperhatikan juga beberapa hal, agar apa yang kita sampaikan bisa dipertimbangkan oleh orang lain.
Di antaranya adalah memerhatikan situasi dan kondisi. Mayoritas orang memilih untuk menerima kebenaran yang disampaikan secara diam-diam, dibanding secara terang-terangan di depan banyak orang. Jangan sampai, niat kita untuk memberikan nasihat justru membuat orang lain merasa dipermalukan.
Demikian pula untuk pemilihan kata, kita perlu menggunakannya secara tepat agar tidak menyakiti perasaan. Apa yang kita sampaikan juga haruslah merupakan sesuatu yang benar.
BACA JUGA:Â Nasihat Umar bin Khattab dalam Mencari Teman
Kemudian, ketika kita menyampaikan kebaikan pada orang lain, itu tidak lantas menjadi jaminan bahwa diri kita juga sepenuhnya baik. Manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Kita juga bukan orang-orang yang terbebas dari perbuatan dosa.
Kalau menunggu diri kita baik dulu, maka boleh jadi seumur hidup kita takkan pernah menyampaikan kebaikan. Jadi, perlu diniatkan bahwa kita menyampaikan kebaikan dan kebenaran tersebut, adalah agar kita juga bisa konsisten menjalankannya. []