Oleh: Ahmad Suwardi
ahmadsuwardi455@gmail.com
IMAM Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya bahwa: Suatu ketika Sayyidina Umar bin Khatthab ra bertanya kepada seorang sahabat yang bernama Ubay Ibnu Ka’ab ra tentang taqwa. Walaupun hal itu merupakan suatu hal yang sangat mereka ketahui, namun bertanya satu sama lainnya di antara mereka dalam rangka mendalaminya adalah hal yang sangat mereka sukai.
Kemudian shahabat Ubay balik bertanya: “Wahai Umar, pernahkah engkau melalui jalan yang dipenuhi duri?”
Sayyidina Umar pun menjawab, “Ya, saya pernah melaluinya.”
Kemudian shahabat Ubay bertanya lagi: “Apa yang akan engkau lakukan saat itu?”
Sayyidina Umar menjawab: “Saya akan berjalan dengan sangat berhati-hati, agar tidak terkena duri itu.”
Lalu Shahabat Ubay pun berkata: “Itulah yang dinamakan takwa.”
BACA JUGA: Akhlaq Rasulullah
Dari riwayat ini kita dapat mengambil sebuah pelajaran penting, bahwa takwa adalah kewaspadaan, rasa takut kepada Allah SWT, kesiapan diri, kehati-hatian agar tidak terkena duri syahwat dan duri syubhat di tengah perjalanan menuju Allah SWT, menghindari perbuatan syirik, meninggalkan perbuatan maksiat dan dosa, baik yang kecil maupun yang besar. Serta berusaha sekuat tenaga mentaati dan melaksanakan perintah-perintah Allah dengan hati yang tunduk dan ikhlas.
Setiap orang yang beriman pasti akan menyadari bahwa ia hidup di dunia hanya sementara dalam batas waktu tertentu yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Usia manusia berbeda satu sama lainnya, begitu juga amal dan bekal ibadahnya.
Setiap orang yang beriman pun amat menyadari bahwa mereka tidak mungkin selamanya tinggal di dunia ini. Mereka memahami bahwa mereka sedang melalui perjalanan menuju kepada kehidupan yang kekal abadi. Sungguh sangat berbeda dan berlawanan sekali dengan kehidupan orang-orang yang tidak beriman. Allah swt berfirman:
بَلْ تُؤْثِرُونَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا ﴿ ١٦﴾ وَالْآخِرَةُ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ ﴿
١٧﴾
“Tetapi kamu (orang-orang kafir) lebih memilih kehidupan duniawi. padahal kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. (QS. Al-A’la: 16-17)
Sayangnya, kesadaran ini seringkali terlupakan oleh diri kita sendiri. Padahal, bukan tidak mungkin, hari ini, esok, atau lusa, perjalanan itu harus kita lalui, bahkan dengan sangat tiba-tiba.
Jiwa manusia yang selalu digoda oleh syaithan, diuji dengan hawa nafsu, kemalasan bahkan lupa, kemudian menjadi lemah semangat dalam mengumpulkan bekal dan beribadah, membuat kita menyadari sepenuhnya bahwa kita adalah manusia yang selalu membutuhkan siraman-siraman suci berupa Al-Quran, mutiara-mutiara sabda Rasulullah, ucapan hikmah para ulama, bahkan saling menasihati dengan penuh keikhlasan sesama saudara seiman. Sehingga kita tetap berada pada jalan yang benar, Istiqomah melalui sebuah proses perjalanan menuju akhirat menghadap Allah SWT.
Jika kita membuka kembali lembaran kisah salafus shalih, kita akan menemukan karakteristik amal yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada di antara mereka yang konsen pada bidang tafsir, hadits, fiqih, pembersihan jiwa dan akhlak, atau berbagai macam ilmu pengetahuan lainnya.
Namun, satu persamaan yang didapat dari para ulama tersebut, yaitu kesungguhan mereka dalam beramal demi memberikan kontribusi terbaik bagi sesama umat manusia bahkan alam semesta. Sebuah karya yang tidak hanya bersifat pengabdian diri seorang hamba kepada Penciptanya, namun juga mempunyai nilai manfaat luar biasa bagi generasi berikutnya.
Marilah kita merenungi firman Allah SWT berikut:
وَابۡتَغِ فِيۡمَاۤ اٰتٰٮكَ اللّٰهُ الدَّارَ الۡاٰخِرَةَ وَلَا تَنۡسَ نَصِيۡبَكَ مِنَ الدُّنۡيَا وَاَحۡسِنۡ كَمَاۤ اَحۡسَنَ اللّٰهُ اِلَيۡكَ وَلَا تَبۡغِ الۡـفَسَادَ فِى الۡاَرۡضِؕ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الۡمُفۡسِدِيۡنَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi, dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. A- Qashash: 77).
BACA JUGA: 10 Tanda Orang Bertaqwa
Dari ayat ini kita dapat mengambil pelajaran penting, tentang beberapa prinsip yang perlu kita sadari bersama akan keberadaan kita di dunia ini.
Pertama, prinsip mengutamakan kebahagiaan kehidupan akhirat.
Prinsip ini menghendaki agar dalam melaksanakan kehidupan di dunia, kita senantiasa mengutamakan pertimbangan nilai akhirat.
Namun perlu dipahami, mengutamakan kebahagiaan akhirat bukan berarti mewujudkan kebahagiaan duniawi diabaikan begitu saja, sebab amal akhirat tidak berdiri sendiri dan terlepas dari amal duniawi. Sungguh amat banyak amalan akhirat yang berhubungan erat dalam mewujudkan kebahagian duniawi.
Umpamanya sholat, seorang yang melaksanakan shalat dengan tekun dan disiplin bukanlah semata-mata sebagai amal akhirat yang tidak berdampak duniawi, sebab bila shalat itu dilaksanakan menurut tuntutan Allah dan rasulnya niscaya ia akan banyak memberikan hikmah dalam kehidupan dunia.
Dengan shalat yang benar akan dapat mencegah seseorang dari perbuatan keji dan mungkar. Dengan demikian manusia akan terhindar dari perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain, sehingga terciptalah ketenteraman hidup bersama di dunia ini.
Begitu juga dengan infaq dan shadaqah, seorang yang beramal dengan niat mulia untuk mendapatkan pahala dari Allah swt di akhirat, maka dengan hartanya tersebut dapat memberikan manfaat bagi kehidupan orang lain yang membutuhkan.
Kedua, prinsip ‘ahsin’ yaitu senantiasa menghendaki kebaikan.
Bila seseorang menanamkan prinsip ini dalam dirinya, niscaya ia akan menunjukkan diri sebagai orang yang selalu menghendaki kebaikan. Ia akan senantiasa berprasangka baik kepada orang lain, selalu berusaha berbuat baik dan berkata baik dalam pergaulan hidup sehari-hari.
Maka akan selalu tampillah kebaikan demi kebaikan, mempersembahkan sebuah karya terbaiknya untuk kemanfaatan masyarakat disekitarnya, peduli akan kemaslahatan umum, dan meninggalkan sebuah kebaikan yang akan selalu dapat dikenang oleh orang banyak walaupun ia sudah pergi terlebih dahulu menuju kehidupan yang abadi.
Ketiga adalah prinsip walaa tabghil fasaada fil ardh’ yaitu prinsip untuk tidak berbuat kerusakan di muka bumi.
Bila prinsip ini dipegang teguh, seseorang akan lebih melengkapi prinsip yang kedua, yakni melengkapi upayanya berbuat baik dengan upaya menghindari perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan.
BACA JUGA: 4 Perkara Pembawa Kebahagiaan Dunia dan Akhirat
Terjadinya kerusakan alam, kerusakan moral, kerusakan dalam tatanan kehidupan masyarakat sering kali terjadi karena sudah hilangnya kesadaran akan tujuan hidup yang sesungguhnya, sehingga orang lupa bahwa sesungguhnya ia tidak dibiarkan begitu saja hidup didunia, tetapi ia harus mempertanggung jawabkan segala perbuatannya ketika ia menghadap Allah swt kelak di akhirat nanti.
Allah SWT mengingatkan kita dengan firman-Nya:
وَتَزَوَّدُوا۟ فَإِنَّ خَيْرَ ٱلزَّادِ ٱلتَّقْوَىٰ ۚ وَٱتَّقُونِ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ
“Berbekallah kamu, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah: 197)
Mudah – mudahan kita semua dapat mengisi kehidupan ini dengan berbagai macam kebaikan dan kemanfaatan sehingga kita dapat meraih kebahagiaan baik didunia maupun diakhirat. Amiin amiin ya robbal alamiin. []