DARI Anas bin Malik ra, ia menceritakan bahwa Nabi SAW pernah berada di sisi salah seorang istrinya, kemudian seseorang dari mereka mengirimkan satu mangkuk makanan. Lalu, istri Nabi yang berada di rumahnya memukul tangan Rasulullah sehingga mangkuk itu jatuh dan pecah.
Maka, Nabi pun mengambil dan mengumpulkan makanan di dalamnya. Beliau berkata kepada salah satu anaknya, “Ibumu cemburu, makanlah.” (HR Bukhari, Ahmad, Nasai, dan Ibn Majah).
Cemburu?
Adakalanya bagi salah satu pasangan suami istri atau bahkan keduanya sekaligus, sangat mengganggu dan mengundang rasa tidak nyaman. Terlebih bila kecemburuan itu tidak dibarengi dengan akal sehat dan nurani yang jernih, alias cemburu buta. Banyak alasan yang dikemukakan di balik rasa itu.
Mencemburui pasangan disebut-sebut sebagai salah satu ungkapan kecintaan. Tetapi, bagaimanakah hukum Islam memandang cemburu? Riwayat di atas mengisahkan bahwa rasa cemburu juga menyerang istri Rasulullah. Beliau tidak melarang dan menegur istrinya tersebut.
Menurut para ulama, cemburu yang muncul, baik dari suami maupun istri, tidak dipersoalkan. Bahkan, tindakan cemburu dikategorikan sebagai akhlak terpuji. Kecemburuan merupakan bentuk mu’asyarah bil ma’ruf, upaya menciptakan hubungan yang harmonis antara kedua pasangan.
Menurut al Raghib, cemburu ( ghirah: Arab—Red) adalah luapan kemarahan yang disebabkan oleh keinginan menjaga kehormatan yang ditujukan kepada perempuan. Oleh karena itu, dikatakan, ghirah bukanlah penjagaan seorang laki-laki terhadap istrinya, melainkan penjagaannya terhadap segala sesuatu yang spesial baginya. Cemburu juga berlaku sebaliknya, istri kepada suami.
Selain kisah di atas, riwayat lain menyebutkan bahwa rasa cemburu dari pihak istri termasuk hak yang diperbolehkan. Dalam hadis yang dinukil oleh Muslim disebutkan, Rasulullah pernah bertanya kepada Aisyah apakah ia pernah mencemburui Rasulullah?
Aisyah pun menjawab, bagaimana rasa cemburu itu tidak muncul, sementara Rasulullah adalah publik figur yang sangat diagung-agungkan.
Sebuah riwayat dari ‘Amar bin Yasir juga menegaskan pentingnya keberadaan rasa cemburu dari seorang istri. Bahkan, mereka yang tidak memiliki rasa cemburu sama sekali dan bersikap dingin terhadap apa pun yang berlaku atas suaminya diancam tidak masuk surga. Riwayat ‘Amar itu menyebutkan ada tiga golongan perempuan yang diancam tidak akan masuk surga, yaitu selain para peneguk khamar dan mereka yang menyerupai pria atau mutasyabbihah.
Namun demikian, kecemburuan yang diperbolehkan tidak berlaku mutlak. Artinya, cemburu itu harus bersifat seimbang dan sewajarnya. Tidak boleh berlebihan. Kecemburuan bisa menjadi sesuatu yang positif jika tidak melampaui batas dan tidak dibarengi dengan prasangka buruk yang berlebihan.
Ali bin Abu Thalib pernah mengatakan, “Janganlah kalian keseringan cemburu terhadap pasanganmu karena justru keburukan akan mendatangimu.” Hal senada juga diungkapkan oleh Ibnu Arabi. “Sungguh, kami adalah para pencemburu Allah. Dan berhati-hatilah kamu semua terhadap kecemburuan hewani, jangan sampai dia menghasut dan menjebakmu,” katanya.
Ibnu al Qayyim berpesan agar istri mampu menahan rasa cemburu yang berlebihan itu. Menurutnya, kecemburuan yang datang dari pihak istri terkadang sulit terkontrol. Alangkah lebih baiknya jika para istri terus menempa diri agar tidak dikuasai oleh emosi. Ia menjabarkan tafsir ayat ke-25 dari surah al- Baqarah: “ Dan untuk mereka di dalamnya ada istri-istri yang suci.” Makna kata “suci” dalam ayat tersebut mencakup pula bersihnya hati mereka dari rasa cemburu dan tidak menyakiti suaminya.
Sebaliknya, hak istri atas suami ialah dicemburui oleh suaminya. Sang suami hendaknya tidak bersikap masa bodoh atau cuek terhadap segala tingkah laku istrinya, tidak berburuk sangka kepadanya secara berlebihan, dan tidak selalu mencari kesalahan istrinya. Dalam sebuah riwayat dari Abdullah bin Mas’ud disebutkan, Allah SWT menda patkan perasaan cemburu dari hambahamba- Nya meskipun kecemburuan terhadap- Nya bukan seperti kecemburuan sesama manusia. []
Sumber: Republika.