MENCICIPI makanan, seluruh mazhab berpendapat bahwa hukumnya ialah makruh kecuali karena darurat atau karena keperluan. Namun, disyaratkan makanan tidak boleh menyentuh kerongkongan dan tidak boleh sampai ke dalam perut.
Jika sedang memasak, bagi seorang perempuan, tentunya enggak pas kalau tidak mencicipinya. Sebab, khawatir masakan tersebut tidak sedap. Apalagi makanan yang dibuat itu, tentunya juga akan disantap oleh suami dan anak-anak kita. Dan pastinya, kita tak ingin mereka kecewa dengan hasil masakan kita bukan? Tetapi, apakah ketika berpuasa kita boleh mencicipi makanan?
Dalam masalah ini terdapat beberapa pendapat oleh berbagai madzhab.
Hanafi: Makruh bagi orang yang berpuasa mencicipi makanan apabila mungkin sampai ke dalam perutnya, baik puasanya puasa fardhu maupun puasa sunnah. Kecuali dalam keadaan darurat, seorang perempuan boleh mencicipi makanan sekedar untuk mengetahui garamnya, seandainya suami perempuan itu seorang lelaki yang kasar atau jahat perangainya.
Maliki: Makruh bagi orang yang puasa mencicipi makanan, sekali pun dia yang memasak. Apabila dia mencicipnya, dia wajib meludahkannya kembali supaya tidak sampai ke kerongkongan. Jika makanan itu sampai ke kerongkongan tanpa sengaja, dia wajib mengqadha. Jika makanan itu sampai ke kerongkongan dengan sengaja, dia wajib mengqadha dan membayar kaffarah (denda) puasa Ramadhan.
Syafi’i: Makruh bagi orang puasa mencicipi makanan, kecuali bila sangat diperlukan. Umpamanya bagi seorang tukang roti dan sebagainya, maka tidak makruh.
Hanbali: Makruh mencicipi makanan tanpa suatu keperluan yang mendesak. Apabila sangat diperlukan tidak makruh.
Kata Imam Ahmad bin Hanbal, “Saya lebih menyukai orang puasa yang tidak mencicipi makanan. Jika ia melakukannya tidak memberi mudharat, ya tidak mengapa.”
Kata Ibnu Abbas, “Tidak mengapa kalau hanya sekedar merasai.”
Tersebut di dalam “Al-Mughni”, Hasan pernah mengunyahkan buah pala bagi cucunya, padahal dia puasa. Karena itu Ibrahim memberi rukhsah (keringanan) dalam masalah tersebut.
Kata Ibnu ‘Uqail, “Makruh tanpa suatu keperluan tertentu, tetapi tidak mengapa karena alasan keperluan. Jika dia mencicip, lalu makanan sampai ke tenggorokkan, puasanya batal. Jika makanan tidak sampai ke tenggorokkannya, tidak membatalkannya.” []
Referensi: Fiqih Perempuan/Karya: Muhammad ‘Athiyah Khumais/Penerbit: Media Da’wah