Oleh: Ade Junaedi
KONFLIK yang berujung pada pertikaian sering kali terjadi. Pelakunya hampir disetiap lapisan masyarakat dan lapisan profesi. Adanya konflik karena adanya ketidakpuasan dalam hal keputusan.
Tidak menutup kemungkinan,terjadinya konflik dikarenakan candaan, kesalahpahaman, atau karena adanya unsur kesengajaan membuat permasalahan dengan cara menghina, menghasut, mengaduh domba bahkan menfitnah.
Pertikaian akan berlangsung lama, bila para pelakunya mempertahankan keegoannya masing-masing. Hati yang keras karena emosi, akan mudah terbakar. Percikan bara emosi mampu menjalar ke hati yang kering keimanannya.
BACA JUGA:Â Enggan Bermusyawarah, Ciri Iman Mulai Lemah
Emosi mampu membawa seseorang menjadi pendendam. Seseorang yang tidak mampu meluapkan emosinya sendiri akan menjelma menjadi seorang provokator.
Ia mempengaruhi orang-orang untuk ikut berpihak padanya. Lalu bersama-sama meluapkan emosinya kepada pihak lawan.
Sebagai seorang provokator, dengan ucapannya yang meluap-luap bagai badai di lautan lepas, mampu menenggelamkan pemikiran yang tak berpendirian.
Orang yang pendendam, bahkan seorang provokator akan menjauhi orang yang memiliki pendirian dalam berpikir maupun bersikap.
Ia akan mencari dan mendekati orang-orang yang tak berpendirian alias labil. Orang yang labil akan mudah dipengaruhi, terlebih lagi dijanjikan sesuatu yang diinginkannya.
Seketika loyalitasnya menjadi tinggi, membantu dan membela sekuat tenaga, meski tidak tahu permasalahan yang sebenarnya. Kelabilan seseorang memudahkan para provokator dalam berkerja.
Agama mengajarkan berbagai adab dalam bermasyarakat. Tujuannya tak lain adalah menciptakan kedamaian antar manusia. Bercanda dibolehkan, tentunya ada batasannya.
Memberikan pernyataan atau mengabarkan sesuatu hal, tentunya haruslah jelas segalanya. Agar tidak terjadi kesalahpahaman.
Begitupula terhadap orang-orang yang ketahuan telah melakukan penghinaan, menghasut, mengaduh domba bahkan menfitnah. Agama telah mengajarkan cara penyelesaiannya dengan bijak. Supaya bagi yang tersakit, mampu mengobati rasa sakitnya. Dan bagi yang menyakiti, mendapatkan ilmu untuk tidak mengulanginnya lagi.
Dalam bermusyawarah yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan, bisa menimbulkan masalah baru. Setiap individu berpartisipasi mengeluarkan pendapatnya.
Ketika adanya perbedaan pendapat, dan masing-masing individu mempertahankan pendapatnya, perdebatan tak bisa dihindari. Hati yang lemah, akan mengalah dengan menyimpan rasa ketidakpuasan.
Hati yang bijak, akan mengalah dengan berpikir positif, semata-mata untuk kebaikan bersama. Hati yang keras, akan terus berjuang mempertahankan pendapatnya. Meskipun pendapatnya belum tentu benar dan mengarah untuk kepentingan bersama.
Menentukan salah tidaknya dalam permasalahan, seringkali ditentukan berdasarkan kepentingan. Begitupula dalam hal bermusyawarah. Sehingga wajarlah jika terjadi konfilk.
BACA JUGA:Â Ayah, Ibu Ajaklah Anakmu Musyawarah!
Orang yang dituakan, bukan berarti berkuasa dalam memutuskan perkara. Orang yang muda pun banyak yang berlaku bijaksana. Setiap keputusan haruslah tak berpihak, tetapi netral. Bagi yang bersalah, katakanlah salah. Begitupula sebaliknya.
Pertikaian tak akan terjadi, jika pihak-pihak yang bersangkutan sama-sama mengedepankan kejujuran. Jikalau merasa berbuat salah, akui kesalahannya dan meminta maaflah.
Kemudian berusaha untuk memperbaiki prilakunya. Bagi yang berlaku benar, janganlah membusungkan dada karena kebenarannya. Bersikaplah saling menghargai, saling menghormati.
Ilmu dalam agama haruslah dijadikan pedoman dalam menyelesaikan setiap permasalahan kehidupan. Ilmu dalam agama menciptakan kedamaian bagi insan yang beriman. Musyawarah yang dilandasi ilmu agama, menghasilkan kebijakan yang bermanfaat di dunia maupun di akhirat. []