JIKA kita berdakwah atau menasihati orang lain kemudian ditolak, maka mungkin disebabkan oleh beberapa hal:
1]. Mungkin apa yang kita dakwahkan atau kita nasihatkan belum dilandasi dengan keikhlasan. Masih banyak tersisipi dengan berbagai niat yang lain atau kepentingan-kepentingan yang bersifat duniawi.
2]. Mungkin karena hati orang yang kita dakwahi atau kita nasihati memang keras seperti batu. Sehingga kebaikan yang kita sampaikan akhirnya mental, tak menimbulkan bekas sama sekali.
Jika dalam kondisi seperti ini, maka yang pertama kali harus dituduh dan dicurigai adalah diri kita sendiri, dengan memilih kemungkinan pertama. Karena hati yang keras terkunci, hanya bisa dibuka dengan kunci keikhlasan. Dengan demikian, kita akan senantiasa sibuk dengan intropeksi diri terhadap hal-hal yang masih kurang dari diri kita. Sebagaimana dinyatakan oleh sebagian ahli hikmah :
إن من دلائل الإخلاص و علامات المخلصين اتهامهم لأنفسهم بالتقصير
“Sesungguhnya dari indikasi keikhlasan dan tanda-tanda orang yang ikhlas, mereka senantiasa menuduh diri mereka dengan berbagai kekurangan”.
BACA JUGA: 17 Langkah Melepaskan Diri dari Hutang
Bukannya kita malah senantiasa menuduh dan mencurigai orang lain dengan memilih kemungkinan yang kedua. Sehingga bawaannya sering marah-marah, merendahkan, dan mencaci, kepada siapa saja yang tidak mau menerima dakwah dan nasihat kita dengan melebelinya sebagai seorang yang “menolak kebenaran” atau “mengikuti hawa nafsu”.
Salah satu sifat mu’minun shiddiqun (orang mu’min yang jujur), mereka senantiasa mencurigai dan mengkhawatirkan diri sendiri sebelum orang lain. Alloh berfirman :
وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ
“Dan orang-orang yang telah memberikan apa yang mereka berikan dengan hati yang takut (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka”. [QS. Al-Mu’minun : 60].
Imam Al-Baghawi –rahimahullah- (wafat : 510 H)berkata :
{وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ} أَنَّ ذَلِكَ لَا يُنْجِيهِمْ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ وَأَنَّ أَعْمَالَهُمْ لَا تُقْبَلُ مِنْهُمْ
“(Dan hati mereka takut), artinya : sesungguhnya (mereka khawatir) hal itu (infak mereka) tidak akan menyelamatkan mereka dari siksa Alloh dan sesungguhnya amalan mereka tidak akan diterima”.[Ma’alim At-Tanzil : 5/421].
Jika kita memperhatikan sirah para salaf shalih, kita akan dapatkan bahwa mereka adalah orang-orang yang senantiasa menuduh diri sendiri.
Saat nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- menyebutkan tentang beberapa nama orang munafiq, maka Umar bin Al-Khathab bertanya kepada Hudzaifah : “Apakah aku termasuk yang disebut oleh Rosulullah bagian dari mereka?”.
Sahabat Hudzaifah –radhiallohu ‘anhu- pernah berkata :”Seandainya ada seorang yang datang kepadaku, lalu dia berkata kepadaku : “Demi Alloh ! yang tidak ada sesembahan selain-Nya, Wahai Hudzaifah ! amalanmu bukanlah amalan orang yang beriman kepada Alloh!”. Sungguh aku akan berkata kepadanya :”Wahai si fulan (si anu) ! janganlah engkau tebus sumpahmu, karena kamu tidak melanggarnya”.(artinya sumpahmu benar, bahwa amalanku bukan amalan orang yang beriman).
Imam Asy-Syafi’i –rahimahullah- pernah bersyair :
أحب الصالحين و لست منهم***لعلي أن أنال بهم شفاعة
وأكره من تجارته المعاصي***و إن كنا سواء في البضاعة
“Aku mencintai orang-orang shalih, padahal aku bukan termasuk dari mereka. Semoga aku bisa mendapatkan syafa’at (pertolongan) dengan sebab mereka.
Aku membenci kemaksiatan dari perdagangannya. Walaupun kami sama dalam barang dagangan”.
BACA JUGA: Filosofi 5 Jari, yang Mana Diri Kita?
Demikian coretan ringan kali ini. Semoga Alloh Ta’ala menjadikan kita sekalian orang-orang yang senantiasa sibuk untuk mencurigai diri kita sendiri dan menjadikan kita sekalian para hamba-Nya yang senantiasa bersyukur. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Catatan : Tulisan ini terinspirasi oleh status seorang sahabat, kemudian kami olah serta kami lengkapi dengan beberapa faidah.
Facebook: Abdullah Al Jirani