Oleh: Zaqy Dafa
Penulis tinggal di Pati
“Puasa adalah separuh kesabaran”. (HR. Tirmidzi)
DEMIKIAN sabda Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama dalam menggambarkan esensi berpuasa. Inti berpuasa adalah berlatih sabar.
Menurut Ibn Rajab, sabar disini adalah sabar menjalankan perintah Allah, menjauhi berbagai keharaman dan godaan syahwat, dan merasakan berbagai rasa sakit seperti lapar, haus, dan tubuh yang terasa lemas.
Semua ini dilakukan semata karena Allah, karena perjuangan tersebut hanya dia dan Allah yang tahu rasanya. Oleh karena itu, Allah menjanjikan pahala yang berlipat tak terhingga yang hanya Allah sendiri yang tahu penentuannya. (HR. Bukhari Muslim)
Dalam kesempatan lain, Rasulullah juga menjelaskan bahwa di akhirat kelak amal baik manusia akan dikurangi sesuai dosa dan kezaliman yang dilakukannya, kecuali puasa. Dengan berpuasa Allah memberi ‘remisi’ atas dosa yang masih tertinggal dan memasukkan manusia tersebut ke dalam surga. (HR. Baihaqi)
Begitu tingginya derajat dan pahala berpuasa, hingga pahala orang berpuasa seperti para tentara yang berjihad di jalan Allah. Para tentara jihad merasakan beratnya rasa lapar dan haus, kepayahan dan tubuh yang lemas.
Semuanya hanya ditujukan untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan kewajiban agama Allah. (QS. Al-Taubah: 120) Begitu pula resiko yang dialami orang yang berpuasa, sehingga tidak berlebihan jika pahala yang dia dapat seperti orang yang berjihad di jalan Allah.
Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan kali ini menjadi momentum yang sangat tepat untuk pembinaan mentalitas yang baik dan akhlak manusia Indonesia yang mulia. Apalagi, akhir-akhir ini bangsa kita dibuat resah dan kecewa dengan berbagai kasus kerusakan moral dan pikiran para remaja.
Ketika anak-anak sekolah hobi tawuran hingga baku bunuh; di saat anak-anak remaja kecanduan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba); manakala kasus perkosaan biasa menimpa remaja wanita bahkan anak-anak dibawah umur, orang lalu bertanya salah siapa?
Jika orang mencari kesalahan tuduhan pertama tentu mengarah pada pendidikan sekolah. Tapi pihak sekolah pasti akan mengkritik pendidikan orang tua. Orang tua pun merasa tidak berdaya melawan pengaruh kehidupan masyarakat yang rusak. Seperti sebuah lingkaran, orang tidak segera menemukan sebab awalnya.
Mencari faktor luaran memang penting sebagai langkah perbaikan, akan tetapi manusia seringkali lupa meneliti dirinya sendiri sebagai faktor dalaman yang mempengaruhi baik buruknya manusia. Mengkritik berbagai pernyataan dan kebijakan yang zalim memang sangat diperlukan, akan tetapi jangan lupa memperbaiki diri sendiri. Apabila tiap anggota bangsa Indonesia siap memperbaiki dirinya, barangkali inilah solusi yang mampu memutus lingkaran kerusakan moral yang terjadi di masyarakat Indonesia.
Umat Islam di Indonesia sangat siap dan bersuka cita ketika menghadapi bulan puasa Ramadhan. Ibu-ibu rumah tangga dengan semangat mencari-cari bahan makanan di pasar dan toko untuk mempersiapkan sahur dan berbuka.
Masyarakat mulai anak-anak hingga kakek-kakek sangat antusias meramaikan masjid dan mushalla dengan shalat Maktubah dan Tarawih berjamaah, tadarrus Al-Quran, dan berbagai pengajian agama.
Media publik baik cetak atau elektronik begitu ramai dengan baliho, poster, iklan, dan kultum yang bertemakan Ramadhan dan Islam. Fenomena nasional yang selalu terjadi ‘mendadak’ di setiap tahun ini merupakan momentum yang sangat baik untuk pembinaan fikiran, hati, dan akhlak manusia Indonesia.
‘Mendadak Alim’ Hanya di Bulan Puasa
Akan tetapi, sebagian orang pasti akan mempertanyakan bagaimana puasa menjadi solusi perbaikan akhlak bangsa Indonesia. Faktanya, meskipun masyarakat berpuasa sebulan penuh tiap tahun, kemerosotan moral tidak kunjung menurun bahkan makin bertambah sepanjang tahun. Seakan puasa yang dilakukan bangsa Indonesia ini tidak ada pengaruhnya dalam hati dan fikirannya.
Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama sendiri empat belas abad lalu telah mengingatkan, “Barangsiapa tidak meninggalkan ucapan dan perilaku dusta, maka Allah tidak masalah meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. Bukhari) “Puasa itu tidak hanya meninggalkan makan dan minum, puasa itu meninggalkan hal-hal yang sia-sia dan rendah.” (Hadits sesuai syarat Muslim)
Puasa yang dikehendaki Islam tidaklah hanya menahan lapar dan haus, akan tetapi pikiran dan perilakunya tidak risih melakukan hal-hal yang haram. Oleh karena itu, Rasulullah mengingatkan fenomena banyaknya orang yang berpuasa namun ia hanya merasakan lapar dan haus saja. Puasa badannya tidak diimbangi puasa batinnya.
Karena puasa tidak membekas dalam hati dan fikiran, kita seringkali ‘mendadak alim’ di bulan puasa. Akan tetapi, jika bulan puasa telah selesai, maka putus pula ‘kealiman’ kita dan kembali mengulangi berbagai kesalahan yang kita lakukan sebelumnya. Kebiasaan shalat berjamaah, membaca Al-Quran, dan mengaji yang dilakukan saat berpuasa pun berhenti ketika bulan Ramadhan berakhir. Puasa selesai, pengekangan hawa nafsu juga selesai. Puasa hanya merasakan lapar dan haus saja.
Yang lebih buruk, ketika badan kita berpuasa tapi tidak sungkan untuk tetap melanjutkan berbagai kesalahan dan dosa seperti mengumbar gosip, berkata kotor, dan berdusta. Badan berpuasa, akan tetapi masih lupa shalat, tidak mau membayar zakat, suka bertindak jahat kepada sesama manusia, dsb. Barangkali inilah jawaban mengapa kemerosotan moral bangsa Indonesia masih begitu merajalela meskipun mayoritas masyarakat berpuasa.
Oleh karena itu, para ulama salaf berkata, “Puasa paling rendah nilainya adalah hanya tidak makan dan minum.” Shahabat Jabir mengingatkan, “Jika berpuasa maka jagalah telinga, mata, dan mulut dari berdusta, menyakiti tetangga, berperilakulah yang tenang ketika berpuasa, dan jangan menjadikan hari-hari puasa sama saja dengan hari-hari tidak puasa.” (Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hlm. 175)
Belajar Islam dan Istiqamah: Kunci Puasa Berbuah Akhlak Bangsa yang Baik
Perubahan sikap bangsa Indonesia yang sangat mencolok ketika berpuasa di bulan Ramadhan sebaiknya direspon positif dan didukung terus untuk tetap dipertahankan. Menurut kami, cara agar puasa kita agar berkualitas dan berbuah perbaikan mentalitas bangsa Indonesia adalah dengan menggalakkan pengajian agama yang baik dan menanamkan prinsip konsistensi (istiqamah) dalam kebaikan. Pengajian agama yang baik di masjid-masjid, mushala-mushala, dan pondok pesantren untuk membina hati dan fikiran, sedangkan istiqamah untuk mempertahankan ibadah dan amal perbuatan.
Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama bersabda, “Wahai para manusia. Lakukanlah amal perbuatan semampu kalian, sesungguhnya Allah tidak akan bosan hingga kalian bosan. Amal yang paling baik bagi Allah adalah amal yang berterusan meskipun sedikit.” (HR. Bukhari-Muslim)
Rasulullah mengajari kita agar tidak muluk-muluk dalam melakukan kebaikan, asal tetap menjaga konsistensi pengamalannya. Ilmu dan perilaku baik yang telah kita dapatkan ketika berpuasa hendaknya selalu dijaga konsistensinya sehingga dapat kita lakukan secara berterusan, meskipun ilmu dan perilaku yang kecil sekalipun. Jika perbaikan ilmu dan perilaku ini berlangsung terus menerus dan konsisten, ini akan menjadi peluang besar perubahan akhlak dan mental manusia Indonesia sesuai amanat Islam dan Pancasila. WaLlahu A’lam. []