Oleh: Ust. H. Ahmad Yani, Lc. MA
PENDIDIKAN merupakan unsur terpenting dalam proses perubahan dan pertumbuhan manusia. Perubahan dan pertumbuhan kepada yang lebih baik membutuhkan pendidikan yang “baik” pula. Pendidikan yang “baik” akan menghasilkan “output” yang baik.
Untuk misi membangun Umat Islam, salah satu tugas yang diemban oleh Rasulullah SAW adalah ta’lim (mendidik). Firman Allah berbunyi: “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah)”. (QS. Al Jumu’ah: 2).
Dari pendidikan yang dilakukan Rasulullah SAW lahir pribadi-pribadi unggul sebagai output, yang kemudian pada akhirnya membentuk peradaban unggul ketika itu.
BACA JUGA: Mendidik Anak Tak Bisa Mendadak
Umat Islam diproyeksikan untuk menjadi pemimpin peradaban. Sebagai Umat yang menebar kebaikan bagi sekalian alam. Sebuah misi yang tidak ringan dan membutuhkan pribadi-pribadi unggulan. “Kalian adalah Umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Ali Imran: 110).
Upaya untuk menghasilkan pribadi-pribadi Muslim unggulan merupakan tanggungjawab kita semua sebagai Umat Islam. Merupakan tanggungjawab setiap pihak, apakah lembaga pendidikan, keluarga orang tua, sosial, dan seterusnya.
Orang tua adalah pihak yang paling berperan dan bertanggungjawab dalam pendidikan anak-anak mereka agar menjadi pribadi-pribadi unggul. Anak yang shaleh akan menjadi amal jariah bagi kedua orang tuanya. Betapa besar pahala yang diraih lantaran kesalehan atau bahkan kontribusi anak bagi masyarakat dan agamanya yang juga akan berbuah pahala bagi kedua orang tuanya.
Realitanya, seringkali terdapat berbagai kendala dalam upaya pendidikan anak. Mulai dari kendala finansial, kendala lingkungan sosial atau bahkan kendala keluarga. Diantara kendala yang bisa merusak pendidikan anak adalah kendala lingkungan dalam berbagai bentuknya.
Di era informasi ini siapapun dengan sangat mudah untuk mengakses informasi lewat berbagai sarana. Media cetak dan elektronik sedemikian menggurita. Media bisa lebih efektif dan berhasil dalam mendidik anak-anak kita, baik pendidikan positif ataupun sebaliknya. Media mendidik cara berfikir, gaya hidup, cara bergaul dan seterusnya.
Permasalahannya adalah jika anak-anak kita dididik oleh media dengan berbagai materi negatif dan destruktif. Mengarahkan pemikiran, gaya hidup dan seterusnya ke arah negatif dan menyimpang dari Islam. Media merupakan salah satu sarana perang pemikiran (alghazwu alfikry) musuh-musuh Islam untuk melumpuhkan Umat ini. Dan sarana ini efektif bagi mereka.
Lingkungan yang berarti teman dan komunitas bergaul juga bisa mempengaruhi pendidikan anak kita. Rasulullah SAW menjadikan sahabat sebagai pihak yang bisa memengaruhi moral dan kebiasaan seseorang. Sabdanya berbunyi: “Seseorang itu tergantung kepada kebiasaan cara hidup dan akhlak sahabatnya, maka setiap kalian perhatikanlah siapa teman yang digaulinya”. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
Persahabatan dan pergaulan bisa memengaruhi seseorang sebagaimana pepatah Arab: “Siapa yang berteman dengan tukang minyak wangi Ia bisa mendapatkannya cuma-cuma, dan siapa berteman dengan tukang besi, ia akan kecipratan baunya.”
Keteladanan Pendidikan Anak
Ismail seorang anak yang menjadi tauladan sepanjang sejarah dalam ketaatan kepada Allah SWT dan orang tua. Kisah yang sangat masyhur, ketika Ibrahim as. sang bapak, bermaksud menyembelihnya atas perintah Allah SWT, ia merespon dengan jawaban kesiapan dan ketaatannya. Begitulah ketaatan dan kesalehan Ismail menjadi bukti bermutunya pendidikan yang diberikan sang ayah, Ibrahim as.
Metode pendidikan ala Ibrahim dirumuskan dalam sebuah doa yang beliau ucapkan ketika akan meningalkan istri dan anaknya di lembah yang tandus. Beliau as berdoa kepada Allah SWT: “Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, Ya Tuhan Kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur”. (QS. Ibrahim: 37)
Ada beberapa nilai luhur yang bisa kita gali dari firman Allah SWT lewat lisan Nabi Ibrahim as. terkait persepsi dalam mendidik anak.
Pertama, Nabi Ibrahim tahu betul bahwa beliau meninggalkan anak dan istrinya di lembah yang tandus tanpa makanan. Dalam kondisi tersebut, permohonan yang pertama kali diminta menurut logika umum adalah agar mereka dianugerahkan rezeki yang bisa membuat mereka tetap hidup. Namun permohonan pertama yang diminta Nabi Ibrahim as adalah agar mereka mendirikan shalat. Dan orang yang mendirikan shalat dengan sebenarnya adalah orang bertakwa yang telah dijamin Allah SWT. “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya”. (QS. Athalaq: 2-3).
Sama halnya, ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz dinasihati agar mengumpulkan hartanya dalam masa yang cukup untuk diberikan kepada anak-keturunannya. Umar menolak nasihat itu dan berkata: “Jika seandaninya mereka (anak cucuku) adalah orang yang bertakwa, maka sesungguhnya Allah SWT yang akan menanggung rezekinya. Dan jika mereka orang-orang yang fasik maka aku tidak akan membantu mereka dalam kefasikannya dengan harta yang aku wariskan.“
Kedua, permohonan Ibrahim as selanjutnya juga bukan berupa rezeki yang berbentuk materi, namun beliau memohon agar anak, istri serta cucu-cucu beliau kelak menjadi orang yang dicintai manusia. Permohonan yang begitu mulia, dan permohonan mulia seperti itu hanya bisa dicapai dengan akhlak yang mulia. Akhlak yang menentukan seseorang dibenci atau dicintai.
Ketiga, pada petikan doa yang terakhir Nabi Ibrahim memohon rezeki dalam bentuk materi. “beri rezekilah mereka dari buah-buahan agar mereka bersyukur”. (QS. Ibrahim: 37). Namun permohonan ini tidak untuk tujuan mereka kaya materi, tetapi lebih daripada itu agar mereka mampu bersyukur. Bukan kekayaan yang menyebabkan mereka lupa dan kufur.
Dari pendidikan Ibrahim as bisa dipahami bahwa orientasi dalam pendidikan anak bukan semata karena materi yang akan diraih. Bukan karena “akan kerja dimana setelah lulus”, atau “dapat posisi apa nanti”. Maka dalam orientasi pendidikan anak perlu keseimbangan antara aspek ilmu pengetahuan dan akhlak.
Pendidikan yang pertama kali diberikan kepada anak adalah pendidikan akidah, ibadah dan akhlak. Pendidikan ini menurut imam Gazali hukumnya fardhu ‘ain, setiap Muslim harus mendapatkannya. Adapun pendidikan yang bersifat skill dan ketrampilan Duniawi yang selanjutnya berbentuk profesi seperti dokter, insinyur dan sebagainya hukumnya fardhu kifayah. Seorang Muslim boleh berprofesi apa saja, namun ia harus terlebih dahulu menjadi Muslim yang sebenarnya, yang memiliki akidah, ibadah dan akhlak yang baik dan tidak menyimpang dari ajaran Islam.
BACA JUGA: Mendidik Anak Menjadi Generasi Cemerlang
Pendidikan yang Integral
Pendidikan manusia sejatinya bersifat integral. Tidak ada terjadi ketimpangan antara satu aspek dengan yang lainnya. Kita pernah mengenal konsep IMTAK dan IPTEK yang merupakan sebuah upaya integrasi untuk menghasilkan SDM unggulan. Unggul secara moral spiritual maupun sains dan teknologi.
Keterpaduan dalam pendidikan seperti ini bila berjalan dengan baik akan mampu menghasilkan orang-orang pintar yang baik, atau orang-orang baik yang pintar. Dua tipe inilah yang diharapkan mampu menebar rahmat kebaikan. Dan dua tipe ini secara tersirat adalah harapan dalam doa yang seringkali kita baca: “Ya Allah karuniakanlah kami kebaikan baik di Dunia maupun di Akhirat.”
Mendapat kebaikan di Dunia dengan kepintaran, dan mendapat kebaikan di Akhirat dengan ketakwaan. Banyak orang pintar yang tidak baik atau orang baik yang tidak pintar. Dua tipe ini sulit diharapkan untuk bisa menebar kebaikan dan manfaat bagi sesama, bahkan malah bisa berpotensi menjadi masalah (trouble maker). Orang pintar yang tidak baik bisa berpotensi merugikan orang lain. Sederet contoh kasus dalam hal ini, kasus para pejabat korup, kebohongan publik, mafia dan seterusnya. Adapun tipe orang baik yang tidak pintar dan tidak paham, berpotensi dimanfaatkan, dirugikan, atau bahkan dianiaya pihak lain. Wallahu a’lam. []
SUMBER: IKADI.OR.ID