Oleh: Tri Alfiani, S.Mat
PENGHUNI masa depan adalah anak-anak kita hari ini. Mereka adalah generasi gemilang yang akan bernafas dengan ketakwaan yang telah dinanti zaman kejayaan.
Orang tua berambisi untuk menjadikan anaknya sholih dan sholihah agar siap berhadapan dengan peradaban. Hal ini, tentu membutuhkan ilmu dan kerja sama dari segala pihak serta program/strategi mendidik yang tepat agar dapat melejitkan kepribadian Islam anak dan ketangguhannya dalam bidang tsaqofah Islam, ilmu, hukum, politik dan jihad dan anak harus unggul dalam hal ini.
Mendidik anak dimasa sekarang memiliki tantangan yang semakin berat. Apalagi untuk menggapai keinginan yang mulia itu, dimana saat ini antara kebaikan dan kerusakan itu lebih dominan kerusakannya yang memang cenderung merusak.
Mengapa bisa demikian?
Ini karena aturan yang diterapkan adalah aturan kapitalisme-sekulerisme yang berkuasa pada masa ini. Aturan ini rusak dan melahirkan kerusakan yang memiliki ancaman. Faktanya, lihatlah berbagai informasi positif dan negatif, tontonan dan tayangan bersiliweran yang sulit untuk difilter, mengepung anak-anak. Contohnya, pornoaksi dan pornografi menjadi konsumsi yang mudah didapatkan yang merusak bagi anak-anak dan dapat merusak secara permanen yang mengakibatkan kecanduan. Na’udzubillahi min dzalik
Bukan hanya itu saja, pada tahun 2015 beredarnya buku karangan Toge Aprilianto berjudul _Saatnya Aku Belajar Pacaran_ yang menyerukan dan membenarkan remaja untuk berhubungan seks dengan pacar. Pada 18 April 2012 diterbitkan buku yang mengandung pesan kampanye dan pembenaran gaya hidup Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) yang berjudul _Why? Puberty_ ditulis oleh Jeon Ji-Eun asal Korea Selatan yang akhirnya ditarik dari peredaran pada Agustus 2014 karena menuai protes banyak kalangan.
Kasus kekerasan terhadap anak pun kerap terjadi. Berdasarkan hasil kajian Indonesia Indicator (I2), dari 343 media online diseluruh Indonesia, baik nasional maupun lokal pada periode 1 Januari 2012 hingga 19 juni 2015, faktor utama penyebab kekerasan terhadap anak berasal dari faktor luar atau sosial, yaitu kemiskinan, masalah keluarga, masalah sosial dan rendahnya pengetahuan pelaku kekerasaan akan efek tindakannya (pikiran-rakyat.com, 22/6/2015).
Masih banyak kasus serupa dan beragam yang terjadi dilapangan yang belum terungkap. Kasus-kasus tersebut terhadap anak menguatkan bukti bahwa generasi gemilang tidak utuh jika hanya mengadalkan pribadi yang baik dari orang tuanya. Mengingat, anak adalah makhluk sosial yang tak lepas dari masyarakat. Masyarakat pun tak dapat diandalkan meskipun ditengah-tengah masyarakat yang baik menurut manusia. Karena didalam masyarakat pun tak lepas dari aturan yang diterapkan, yaitu aturan dari pemerintah yang mengadopsi hukum-hukum di dalamnya.
Dari kasus-kasus itu membuktikan bahwa sistem dan negara gagal melindungi anak. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah menerapkan hukum-hukum yang mampu menjaga dan bekerja sama dalam mendidik serta memimpin program/strategi pendidikan yang tepat bagi masyarakat, orang tua khususnya anak-anak. Yaitu, dengan menerapkan konsep dan metode Islam.
Akidah Islam adalah pondasi yang kokoh. Kebijakan pendidikan berbasis akidah Islam menjamin pembentukan cara pandang yang benar pada generasi muslim. Mereka akan memahami bahwa Islam telah memberikan solusi bagi persoalan umat: ekonomi, politik, sosial dan sebagainya. Mereka dibina dengan tsaqofah Islam sehingga mampu menerapkan Islam dalam kehidupan mereka.
Kebijakan pendidikan Islam memperhatikan seluruh perangkat yang dimiliki, ilmu-ilmu Islam, seperti fikih, hadits, tafsir, ilmu ushul dan sebagainya, ditambahi ilmu-ilmu tertentu untuk level sekolah tinggi seperti ilmu kedokteran, teknik sipil, ilmu alam dan lain-lain. Karena hanya Islamlah satu-satunya aturan yang dapat menjaga fitrah dan melejitkan seluruh potensi manusia secara manusiawi hingga mewujudkan generasi gemilang. Wallahu a’lam. []