Oleh: Rifqoh Zahidah Ahmad
Universitas PTIQ Jakarta
rifqohzahidahahmad21@mhs.ptiq.ac.id
اِذْهَبَآ اِلٰى فِرْعَوْنَ اِنَّهٗ طَغٰىۚ (43) فَقُوْلَا لَهٗ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهٗ يَتَذَكَّرُ اَوْ يَخْشٰى(44)
“Pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun! Sesungguhnya dia telah melampaui batas. Berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.”
Dalam tafsir Al-Tahrir wa Al-tanwir, Ibnu Asyur menjadi penengah antara beberapa pendapat ahli tafsir yang lain, bahwa perintah pergi kepada Nabi Musa dan Harus dengan bentuk Tsaniyah (dua orang lawan bicara) yaitu lafadz اِذْهَبَآ pergilah kalian berdua, dengan maksud pergilah kamu (Musa) dan saudaramu (Harun).
Namun Harun Ketika itu tidak ada di tempat. Dalam keterangan Ibnu Asyur Harus berada di Bumi Jasan, tempat tinggal Bani Israil. Akan tetapi Allah mewahyukan kepadanya agar menemui Musa, lalu mereka berdua bertemu di jalan yang menuju Mesir, tempat tinggal Fir’aun. (Tafsir Al-Tahrir wa Al-Tanwir, Juz 16, halaman. 224)
BACA JUGA: Penjagaan Allah terhadap Nabi: Memerintah dan Menegur
Perkataan halus menurut Ibnu Asyur adalah semua perkataan yang menunjukkan makna kegembiraan, pemberitahuan dan ajakan untuk diikuti, serta manifestasi dari kelurusan berpikir, pengucapannya sehingga kebenaran yang dibawa dapat diterima dan perkara hak dan batil dapat dibedakan dengan jelas.
Perkataan tersebut juga tidak mengandung pembodohan, penghinaan terhadap lawan bicara yang dapat menyakiti perasaannya.
Menurut Ibnu Katsir, Pelajaran yang sangat berharga , penting dapat diambil dari ayat tersebut yaitu Nabi Musa merupakan manusia terbaik pilihan Allah kala itu untuk berhadapan dengan Fir’aun (manusia paling sombong), bahkan mengaku dirinya sebagai Tuhan, akan tetapi Allah memerintahkan kepada Nabi Musa untuk tetap berbuat baik kepada Fir’aun dengan berkomunikasi menggunakan kata-kata lemah lembut.
Sufyan ats-Tsauri meriwayatkan terkait maksud Allah untuk keduanya (Nabi Musa dan Harun ) untuk berkata lemah lembut, perkataan halus kepada Fir’aun, agar menyentuh jiwa lebih mendalam dan sesuai anjuran Al-Qur’an.
Sebagaimana tradisi arab memanggil nama dengan Kunyah yaitu Abi Murroh (Fir’aun), salah satu cara untuk menghargainya. (Tafsir Ibnu Katsir , Jilid 5, halaman. 83)
Al-Sya’rawi menjelaskan dalam tafsirnya, untuk memberi ruang kepada Fir’aun agar ia dapat berpikir dan mempertimbangkan ayat-ayat Allah yang kamu sampaikan dengan lemah lembut kepadanya. Jangan mendesaknya dengan kekerasan. Ulama berkata bahwa Nasehat itu berat, maka jangan langsung kamu lepas karena akan menjadi beban, dan jangan pula menjadikan sebagai argumentasi untuk berdebat. Jangan pula kamu sekali-kali melimpahkan dua kesulitan kepada orang kamu nasehati, yaitu menjauhkan atau mengeluarkan dia dari kesenangannya kemudian kamu paksa untuk masuk kepada perkara yang tidak ia sukai. Akan tetapi keluarkanlah dia dari perkara yang disenangi kepada yang ia cintai. Begitu juga dengan pahitnya nasehat, harus menutupinya dengan kata-kata lemah lembut dan baik hati. (Tafsir Al-Sya’rawi, Jilid 15, 1997, hal.9276-9277)
Ulama menjawab bahwa Allah menginginkan agar Nabi musa berdakwah kepada Fir’aun dengan penuh kepercayaan bahwa Fir’aun akan diberi hidayah oleh Allah, bukan berdakwah dengan hat putus asa.
Dengan kepercayaan tersebut Nabi Musa memiliki kekuatan untuk berdialog dan memberikan hujjah di hadapan Fir’aun dalam keadaan tahu bahwa Fir’aun tidak akan menerima dakwahnya, tapi hujjah di hari kiamat harus ditegakkan kepada Fir’aun, bahwa telah sampai dakwah kepadanya.
Adapun Kontekstualisasi dalam ayat ini, Islam mengajarkan Ketika berkomunikasi agar menggunakan bahasa yang lemah lembut kepada siapapun. Di mulai dari keluarga, orang tua kepada anaknya sebaiknya berkomunikasi pada anak dengan lemah lembut, sehingga timbul perasaan bersahabat yang menyusup ke dalam relung hati anak, ia juga berusaha menjadi pendengar yang baik.
Sebagaimana kita ketahui, realitanya sampai saat ini masih banyak orang tua berbicara dengan intonasi yang tinggi, mata melotot, bertolak pinggang, dan juga dibarengi dengan kata-kata kasar seperti anak kurang ajar, anak bodoh, anak tidak tau diuntung dan lainnya sehingga anak merasa takut.
Sikap dan perkataan seperti itu amatlah kurang baik, jika orang tua ingin memarahi anak, sebaiknya marahlah sewajarnya, bukan karena dorongan hawa nafsu belaka. Sebab kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak akan membentuk kepribadian anak yang keras kepala.
BACA JUGA: Ketika Umar Menegur Suami-Istri di Jalan
Terkait penolakan anak ketika diperintah oleh orang tuanya bukan karena ia tak mampu melakukannya, tetapi karena cara memerintahnya dengan bahasa yang kasar dan emosional. Seandainya perintah itu menggunakan Bahasa yang lemah lembut, tanpa emosional, maka anak dengan senang hati menurutinya, meski anak tersebut dalam keadaan Lelah.
Berikut contoh lain, yaitu memanggil nama orang yang di dakwahi dengan nama terbaik seperti yang sudah disebutkan diatas, pada tradisi arab dengan Kunyah seperti Fir’au menjadi Abi Murroh. Sebab jiwa seseorang akan tersinggung dan tersakiti dengan panggilan buruk.
Sebagaimana panggilan kepada non-Muslim dengan panggilan Kafir. Meskipun para ulama berbeda pendapat, namun jika dibawa kedalam dunia dakwah kata non-muslim lebih baik daripada kafir. Karena memanggil dengan non-muslim merupakan bagian dari menggunakan metode dakwah dengan perkataan halus, sebagaimana yang dimuat dalam surat Thaha ayat 44. []
Kirim tulisan Anda ke Islampos. Isi di luar tanggung jawab redaksi. Silakan kirim ke: islampos@gmail.com, dengan ketentuan tema Islami, pengetahuan umum, renungan dan gagasan atau ide, Times New Roman, 12 pt, maksimal 650 karakter.