APRIL selalu identik dengan Hari Kartini. Tidak dimana-mana, pada bulan April diangkat berbagai tema tentang keperkasaan dan kegigihan para wanita yang berujung pada penyamaan perjuangan mereka dengan perjuangan Kartini di zaman dulu.
Ada yang wanita sopir busway. Wanita satpam. Wanita pemanjat pohon kelapa. Wanita kantoran, dan sebagainya. Satu yang pasti, semangat emansipasi ala Barat begitu kental digaungkan pada setiap Hari Kartini.
Tapi satu hal yang menjadi pertanyaan besar bagi kita sekarang ini, siapakah gerangan sosok Kartini ini? Di zaman milyaran informasi yang begitu marak berterbaran di internet, sosok Kartini menjadi berada di posisi yang terus menyimpan pertanyaan. Bagaimana tidak, kita sebagai seorang Muslim tidak cukup hanya mengagumi seorang pahlawan sekarang ini, tetapi apakah ia mempunyai kesamaan aqidah dengan kita, adalah sesuatu yang juga lebih penting.
Jejak Keislaman Kartini
Menurut Prof. Ahmad Mansyur Suryanegara, dalam bukunya “Api Sejarah” (2009), dari surat-suratnya yang dikenal dengan “Habis Gelap Timbullah Terang” dikisahkan bagaimana kekaguman Kartini kepada Al Qur’an.
Kartini pernah menulis tentang kekagumannya terhadapan Kitab Suci yang mulia ini sebagaimana tertera pada suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 15 Agustus 1902. “Alangkah bebal dan bodohnya kami, kami tidak melihat, tidak tahu bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami,” demikian isinya.
Ahmad Mansyur kemudian menyatakan bahwa Kartini menilai Al Qur’an sebagai gunung kekayaan yang telah lama ada di sampingnya. Akibat pendidikan Barat, Al Qur’an menjadi terlupakan, namun setelah Tafsir Al Qur’an dibacanya, Kartini melihat Al Qur’an sebagai gunung agung hakikat kehidupan.
Lebih lanjut, menurut Profesor Ahmad Mansyur, pemikiran Kartini tentang pendidikan anak sangat dipengaruhi oleh ajaran Al Qur’an. Lingkungan kehidupan kabupaten Jepara merupakan medan persemaian tumbuh kembangnya ajaran Islam di kalangan Boepati yang berpikiran sejalan dengan kaum muda.
Melalui surat-suratnya, Kartini juga memberikan gambaran akan gagalnya agama Protestan sebagai agama penjajah Belanda. Demikian pula Katolik yang dikembangkan agama penjajah Portugis, sebelum penjajah Protestan Belanda datang.
Kepada E.C Abendanon, Kartini mengingatkan bahwa Zending Protestan jangan bekerja dengan mengibarkan panji-panji agama. Jangan mengajak orang Islam memeluk agama Nasrani. Hal ini akan membuat zending memandang penduduk Islam sebagai musuhnya. Dampaknya semua agama akan menjauhi zending.
Kartini menolak ajakan Ny. Van Kol untuk berpindah agama menjadi Kristen. Agama Kristen dalam pandangan Kartini adalah agama penjajah. Hal itu dinilai akan merendahkan derajatnya. Pada tanggal 21 Juli 1902, secara halus Kartini mengatakan kepada Ny, Van Kol, “Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini”.
Kartini kemudian mengingatkan Ny. Van Kol, tentang tekad muianya yang akan tetap erjuang untuk menyadarkan Barat agar dapat bertoleransi terhadap agama Islam, “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang agama kami Islam patut disukai.”
Pada surat itu juga Kartini menulis kepada Ny. Van Kol, ”Tiada Tuhan kecuali Allah! Kata kami umat Islam, dan bersama-sama kami semua yang beriman, kaum monotheis; Allah itu Tuhan, Pencipta Alam Semesta.”
Pengaruh Theosofi dalam diri Kartini
Sekalipun fakta-fakta kekaguman Kartini akan Islam dan nilai dalam Al Qur’an menjadi tidak terelakkan, fakta lain tentang pengaruh theosofi dalam pemikirannya juga menjadi catatan tersendiri yang mesti diungkap.
Banyak surat Kartini yang kontradiksi atau tidak sejalan terhadap pembelaannya kepada agama Islam. Menariknya ucapan kartini itu disampaikan pada tanggal yang sama pula di saat kekagumannya mengalir kepada Islam.
Pada tanggal 15 Agustus 1902, Kartini mengirim Surat kepada Nyonya Abendanon yang bisa dikatakan memandang Islam sebagai agama ritual belaka.
”Kami bernama orang Islam karena kami keturunan orang-orang Islam, dan kami adalah orang-orang Islam hanya pada sebutan belaka, tidak lebih. Tuhan, Allah, bagi kami adalah seruan, adalah seruan,adalah bunyi tanpa makna.”
Selanjutnya pandangan teosofis Kartini juga terlihat pada surat yang dikirim ke Nyonya Abendanon tertanggal 14 Desember 1902, berarti empat bulan setelah ia menyatakan kekaguman akan Islam.
“Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen? Orang Buddha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni,” (Surat kepada Ny Abendanon, 14 Desember 1902).
Juga suratnya kepada Ny. Andriani, tanggal 24 bulan September 1902 dan 5 Juli 1903. ”Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tetapi kesemuanya menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi kepada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan, dan kami sendiri menyebutnya Allah,” (Surat kepada Dr N Adriani, 24 September 1902).
BACA JUGA: Kartini dan Al-Quran Terjemahan Bahasa Jawa.
“Tidak peduli agama apa yang dipeluk orang dan bangsa apa mereka itu. Jiwa mulia akan tetap mulia juga dan orang budiman akan budiman juga. Hamba Allah tetap dalam tiap-tiap agama, dalam tengah-tengah segala bangsa,” (Surat kepada Dr N Adriani, 5 Juli 1903).
Selanjutnya merujuk dari surat-surat “pluralisme” Kartini, Artawijaya dalam buku “Gerakan Theosofi di Indonesia” (2010) menjelaskan bagaimana keterlibatan Kartini dengan Theosofi. Meskipun tak ada pengakuan bahwa dirinya seorang theosof namun beberapa inti ajaran dan ritual theosofi seperti persamaan semua agama, mengabdi kepada “Kebaikan”, sebagai tujuan akhir (ultimate goal), serta ajaran tentang gaya hidup vegetarian yang juga banyak dilakukan anggota theosofi, itu semua diamalkan oleh Kartini.
Belakangan jaringan theosofi di Indonesia juga mendirikan Kartini School (Sekolah Kartini) yang mulanya didirkan diBandung oleh seorang teosof bernama R. Musa dan kemudian menyebar di berbagai daerah di Jawa. Tercatat ada beberapa daerah yang berdiri Sekolah Kartini, yaitu Jatinegara (Jakarta), Semarang, Bogor, Madiuan (1914), Cirebon, Malang (1916), dan Inderamayu.
Bagaimana posisi Kartini; seorang theosof ataukah muslimah sejati?
Ada beberapa hal yang mesti kita lihat untuk menengahkan masalah dari dua sikap Kartini yang saling kontradiksi.
Pertama, kita harus meletakkan Kartini sebagai orang awam.
Hal inilah yang sempat dinyatakan Tiar Anwar Bachtiar, Kandidat Doktor Sejarah Universitas Indonesia, dalam wawancaranya dengan Eramuslim.com berjudul “Pakar Sejarah: Kesan Feminis Kartini Adalah Taktik Belanda”, pada tanggal 20 April 2011.
Sebagai catatan, sejak umur 12 tahun, Kartini banyak berdiam diri di rumah dan harus tinggal di rumah karena sudah dipingit. Oleh karenanya dalam masa “pencarian” itu, Kartini akan bertemu apa saja, siapa saja dan dimana saja, termasuk akhirnya Belanda.
Secara psikologis, Kartini terombang-ambing untuk memenuhi dahaganya tentang arti sebuah agama. Kartini pun juga tidak memiliki fundamentasi Islam yang kuat. Lingkungan di sekitar Kartini yang cenderung merujuk kepada Islam kejawen dengan mencampurkan agama tauhid dan sinkretisme mengantarkannya pada pemahaman keIslaman yang tidak utuh.
Kedua, pengaruh Belanda.
Ayah Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang bupati Jepara terkenal memiliki jaringan luas terhadap Belanda. Saat itu ada semcam prestise tersendiri di kalangan birokrat Nusantara saat memiliki persentuhan dengan bangsawan Belanda.
Hal ini kemudian didukung suasana tempat belajar Kartini (sampai usia 12 tahun) di ELS (Europese Lagere School) dimana hampir semua gurunya orang Belanda. Pelajar di Sekolah Belanda dan gurunya sedikit banyak terlibat theosofi. Tidak hanya terpengaruh theosofi, Kartini juga terpengaruh pemikiran liberalisme dan feminis ekstrimis-nya Stella Zeehandelaar.
Setelah mendekam di rumah, karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Disinilah faktor kolonialisme dimanfaatkan Belanda untuk “membentuk” Kartini.
Ketiga, terputusnya hubungan Kartini dengan Kiai Soleh Darat di Semarang.
KH.Soleh Darat merupakan sosok ulama yang memilki andil besar terhadap Kartini di akhir-akhir hidupnya. Kiai Soleh Darat adalah guru dari ulama-ulama’ yang mendirikan NU dan Muhammadiyyah, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH Mahfuzd (pendiri Ponpes Termas, Pacitan), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), dan lain sebagainya.
Dengan Kiai Soleh Darat, Kartini bagai bertemu cahaya yang mengantarkannya ke pemikrian Islam yang sesungguhnya. Suaminya pun, seorang Bupati Rembang, termasuk santri yang agak senang mengaji. Namun sayang pertemuan Kartini dengan Kiai Soleh Darat, tidak berlangsung lama. Kiai Soleh Darat meninggal pada tahun itu juga, menyusul Kartini pada satu tahun berikutnya. Namun sampai detik ini, belum ada fakta sejarah yang menceritakan bahwa Kartini menarik ucapan-ucapanya terkait theosofi. []