Oleh: Erna Dwi Susanti
PAGI masih sedikit menyisakan sinar bersihnya mentari, meski tercampur dengan kebisingan kendaraan di kawasan wisata kuliner, alam dan fashion terkemuka, Dago Bandung.
Masih di tengah kelancaran lalu lintas yang jarang macet kecuali untuk malam Ahad, jalan Djuanda memberikan kesempatan berhikmah kembali. Samping pusat perbelanjaan di sekitaran gang menuju rumah kostan berpapasan dengan seorang senior yang selang satu trap di atas. Tingkat 4 akhir sedang aku masih damai dengan tingkat 4 awal. Mereka sibuk mengurus KIA (Karya Ilmiah Akhir) atau sebut saja di ranah ke-sarjanaan dengan istilah skripsi. Tampak kaget jelas, muka yang disajikan sungguh berbeda dari yang biasa, tampak ceria dan berbinar. Dengan manis ia tersenyum menyapa, “Assalamu’alaikum.”
BACA JUGA: Senyum Pembawa Berkah
“Wa’alaikumsalam…”, sedikit ragu aku menjawabnya. Kenapa ragu? Karena tak sewajarnya sesosok yang lebih ambil diam tampak hadir di hadapan dengan segala keramahan dan keceriaannya. Ikhwan pula. (Ssttt, insya Allah ikhwan dan akhwat di kampus ini mah bisa dipercaya). Muncullah satu tanda tanya, ada apa ini?
Oh, aha! Teriakku girang dalam hati karena dengan pasti aku sudah mempunyai tebakan kuat. Tampaknya seniorku itu sudah mengantongi jadwal sidang KIA nya, dan ia akan lulus dengan segera.
Tak ada pengukur panjang yang bisa aku gunakan untuk mengukur ketinggian semangatku saat itu. Yang awalnya aku dengan langkah gontai berjalan meninggalkan kostan untuk menuju kampus besar peradaban. Ternyata senyum mengalirkan motivasi dan menularkan kebahagiaan tersendiri, terimakasih.
Bukan itu sebenarnya yang hendak terbagi dari cerita barusan, senyum manis seringlah kita jumpai. Energi positif dari senyum juga sudah banyak diteliti oleh para ahli, sekarang saatnya buah keceriaan itu ditarik dalam kubang syukur bernama hikmah.
BACA JUGA: Kekuatan Senyuman
Tidak pernah mencoba menerka apakah seharian kita akan terus bermuka manis di hadapan saudara kita? Atau terus-terusan kita akan bermuram durja di depan mereka? Atau seimbang antara manis dan masamnya? Atau justru kita memilih diam, netral dan tak berekspresi, semuanya sungguh tidak bisa untuk kita terka. Ala kadarnya semua hanya bisa untuk diniat dan dipaksakan. Diniati untuk bermuka manis dan meninggalkan jauh muka masam, karena Rasulullah SAW juga telah mewanti-wantikan dalam nasehatnya “senyummu pada saudaramu adalah sedekah”. Jadi niatkan bersedekah setiap harinya, niatkan bermuka manis setiap waktunya.
Tapi segalanya kan juga dipengaruhi oleh keadaan? Segalanya kan dicampuri sama peristiwa yang menghadang dan menantang, bukan? Kalau sedang good feel mudah-mudah saja buat senyum, tapi kalau dalam keadaan bad feel tentu sangat susah, sulit dan menyengsarakan kalau harus tetap bermuka manis.
Hmm, inilah hakikat pemaksaan yang perlu kita gunakan, memaksakan setiap keadaan yang menghadang (baca: tidak menyenangkan) menjadi keadaan yang membahagiakan. Memoles yang pahit menjadi yang manis. Bagaimana jalannya? Apalagi kalau tidak mencampur yang pahit tadi dengan gula sebanyak-banyaknya? Tepat! Gula itulah yang berasal dari dalam hati kita, yang 75% sangat menentukan penyikapan kita atas keadaan. Seberat apapun ayo mencoba untuk tetap tersenyum tegar dan menguatkan.
Senyumlah, Bersedekahlah dengan segala kekuatanmu. Tenteramkan hati saudaramu yang sedang galau. []