PADA orang-orang shalih, Allah karuniakan keyakinan yang kokoh, akhlak yang mulia, dan ilmu yang memesona. Syukur pun terlantun atas segala anugerah yang tercurah. Kecukupan rezeki, harmonisnya keluarga, baiknya hubungan sanak saudara, tetangga dan sahabat. Itu semua merupakan kebahagiaan tak ternilai harganya.
Dalam lirihnya doa, kita pun mohon pada Allah keberkahan dalam kehidupan. Sambil terus berbenah dalam kebaikan demi kebaikan. Memantapkan doa, menggenapkan ikhitiar, mengokohkan tawakal dengan senantiasa berbaik sangka pada-Nya, juga pada sesama. Kita mohon perlindungan Allah dari keburukan dalam kehidupan.
BACA JUGA: Selalu Ada Hikmah di Balik Setiap Ujian Hidup
Mengapa?
Sebab boleh jadi, kita lulus dari ujian iming-iming dunia; harta, tahta, dan wanita. Semua godaan tersebut berhasil dilewati dengan baik dan mengagumkan.
Boleh jadi, kita lulus ujian keimanan; lulus menghadapi beratnya beban kehidupan, ditinggalkan orang tercinta, kehilangan pekerjaan, kekurangan harta, dan dilecehkan sesama. Atas karunia Allah kita bisa melewati pagar berduri, keluar dari lorong gulita kenestapaan, dan mampu tegak kembali setelah gelombang kegetiran hampir merobohkan benteng keyakinan.
Tapi…
Boleh jadi, hari ini kita belum lulus ujian mengakui kelebihan. Menutup mata dari kebaikan orang lain yang lebih berilmu, berakhlak, dan memiliki kelapangan rezeki. Gengsi mengapresiasi prestasinya, enggan mengambil manfaat darinya, dan sungkan mengucapkan selamat atas keberhasilannya. Padahal misalnya, kenal baik sama orangnya.
Orang hebat itu ada di sekitar kita, boleh jadi kerabat atau sahabat. Tapi karena ego terlanjur menguasai diri, sehingga hati enggan mengakui. Sikap seperti ini merupakan penyakit berbahaya, apalagi ia orangtua, guru, atau ustaz yang menyampaikan kebenaran.
Bila penyakit hati ini tak segera diobati, bisa merugikan diri sendiri. Betapa malang kehidupan yang dijalani. Sebab enggan menerima kelebihan dapat menutup pintu-pintu kebaikan, jendela-jendela hidayah, dan gerbang-gerbang keberkahan.
Enggan mengakui kelebihan, berati menghalangi ilmu, rezeki, dan hidayah. Ini mesti hati-hati, sebab enggan mengakui kelebihan orang lain bisa jatuh pada sikap merendahkan dan menolak kebenaran. Inilah kesombongan sebagaimana Imam Muslim meriwayatkan, “Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.”
Berendah hati mengakui kelebihan, insyaAllah membawa banyak kebaikan, mendamaikan hati, dan menjernirkan pikiran. Bertinggi hati atas segala kelebihan yang dimiliki, hanya membuat hati kian keras dan berkarat. Pikiran kian sempit dan tak nyaman menjalani kehidupan.
BACA JUGA: Mengapa Kita Tak Pernah Luput dari Ujian Hidup?
Pada keluarga, saudara, tetangga, teman, yang Allah karuniakan kelebihan, kita doakan berada dalam kebaikan. Semoga karunia yang sama Allah curahkan pada kita, bahkan lebih darinya. Kelebihan yang membawa manfaat, berlimpah, bukan hanya untuk diri sendiri melainkan untuk orang lain. Sebaik-baiknya. Sebanyak-banyaknya.
Boleh iri pada dua hal sebagaimana nasihat kanjeng Nabi SAW, pada orang berilmu yang dengan ilmunya ia beramal shalih, juga pada orang kaya yang dengan hartanya ia banyak berbuat kebaikan.
Boleh iri, tapi yang produktif, membangun, dan melejitkan diri untuk bangkit meraih yang lebih baik. Tanpa harus buruk sangka, menyikut, dan mendengki mereka yang hari ini lebih baik dari kita. Wallahu’alam. []