DALAM menjalani hidup, seseorang sudah pasti akan mendapatkan bahagia maupun sedih. Ketika bahagia sering kita lupa kepada Dzat Yang Maha Pemberi Rezeki. Sedangkan ketika sedih, seringya kita ingat kepada Allah SWT, rajin beribadah, rajin berdoa dengan maksud Allah segera mencabut kesedihan yang menimpa kita.
Belum lagi, seringnya kita berkeluh kesah dan mengandai-andai atas segala pemberian Allah SWT sehingga lupa dengan bersyukur.
“Mereka (orang-orang munafik) mengatakan : seandainya kita memiliki sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya (kita tak akan terkalahkan) dan tidak ada yang terbunuh diantara kita di sini (perang uhud). Katakanlah : ‘Kalaupun kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji (keimanan) yang ada dalam dadamu, dan membuktikan (niat) yang ada dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui isi segala hati.” (QS. Ali Imran, 154).
Ayat tersebut menjelaskan aaLarangan mengucapkan kata “andaikata” atau “seandainya” apabila mendapat suatu musibah atau kegagalan.
Alasannya, karena kata tersebut (seandainya/andaikata) akan membuka pintu perbuatan setan.
Petunjuk Rasulullah SAW [ketika menjumpai suatu kegagalan atau mendapat suatu musibah] supaya mengucapkan ucapan ucapan yang baik (dan bersabar serta mengimani bahwa apa yang terjadi adalah takdir Allah).
Perintah untuk bersungguh-sungguh dalam mencari segala yang bermanfaat (untuk di dunia dan di akhirat] dengan senantiasa memohon pertolongan Allah).
Larangan bersikap sebaliknya, yaitu bersikap lemah.
Ayat di atas menunjukkan adanya larangan untuk mengucapkan kata “seandainya” atau “andaikata” dalam hal-hal yang telah ditakdirkan oleh Allah terjadi, dan ucapan demikian termasuk sifat-sifat orang munafik, juga menunjukkan bahwa konsekwensi iman ialah pasrah dan ridho kepada takdir Allah, serta rasa khawatir seseorang tidak akan dapat menyelamatkan dirinya dari takdir tersebut. []