MENGINGAT Rasulullah ﷺ adalah imam orang-orang bertakwa dan zuhud, maka tidak diragukan Fatimah Az-Zahra termasuk salah seorang wanita zuhud di dunia. Bisa jadi dialah yang paling zuhud, karena ia hidup bahagia meski sengsara dan miskin. Harta benda dan perhiasan dunia bagi Az-Zahra tidak setara dengan debu paling kecil. Tidak heran jika jodoh Fatimah adalah Ali bin Abi Thalib.
Fatimah Az-Zahra tahu betul bahwa ridha Allah SWT dan ridha Rasul-Nya berada di atas kesenangan dunia. Slogan Az-Zahra adalah firman Allah SWT. “Katakanlah,’ Kesenangan dunia itu hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa’.” (An-Nisa: 77).
Untuk itu Fatimah Az-Zahra menempatkan akhirat tepat di hadapan mata. Ia berusaha sekuat tenaga untuk meraih akhirat, agar termasukdi antara mereka yang dimaksudkan dalam firman Allah SWT, “Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik.” (Al-Isra: 19)
BACA JUGA: Ali bin Abi Thalib Berdoa untuk Tangan si Pencuri
Fatimah Az-Zzahra meniti jalan menuju ridha Allah Sang pencipta, berjalan di bawah cahaya Allah SWT untuk meraih pahala dan kenikmatan abadi yang Allah sediakan bagi wanita-wanita mukminah yang bersabar. Bersama sang suami (Ali bin Abi Thalib), Fatimah Az-Zahra menjalani kehidupan zuhud, dan sabar menghadapi kehidupan sengsara.
Bagaimana tidak, menjalani kehidupan zuhud bersama sang suami, sementara ia menghabiskan seluruh hidup dengan zuhud dan berguru pada pemimpin orang-orang zuhud; Muhammad bin Abdullah ﷺ.
Kehidupan ayah dua cucu Rasulullah ﷺ Abu Thalib (Ali bin Abi Thalib) memancarkan keagungan, keluhuran, dan sesuatu yang luar biasa. Berkat keagungan jiwa dan idealisme tinggi yang dimiliki hingga tertuang kelapangan tanpa batas, aksi-aksi heroik, pengorbanan, kesabran, dan keagungan yang bersinar terang.
Mungkin itu hanya khayalan belaka, namun sejarahlah yang membenarkan hal itu. Sosok muslim agung yang memancarkan kesetiaan, istiqamah, kesucian dan puncak budi pekerti nan luhur kepada siapa pun disekitarnya. Keagungan yang takkan berhenti menegaskan jati diri selama si pemiliknya masih hidup.
Dhirar bin Al-Kinani menuturkan tentang Ali bin Abi Thalib, “Jangkauannya luas, sangat kuat, menuturkan kata-kata pamungkas, memutuskan perkara dengan adil. Ia merasa asing terhadap dunia dan hiasannya, merasa senang dengan malam dan keheningannya, sering menangis, lama kala berfikir, membolak-balikkan tangan dan bicara sendiri.
BACA JUGA: Nasihat Ali bin Abi Thalib tentang Akhir Zaman
“Ia juga menyukai pakaian kasar, makanan yang keras; orang kuat tidak berambisi mengharapkan kebatilannya, orang lemah tak putus asa mengharap keadilannya. Aku bersaksi, aku pernah melihat suatu kejadian yang dilalui Ali kala malam menurunkan tirai dan bintang-bintang terbenam. Ia berada di mihrabnya, memegang jenggot, meliuk-liuk layaknya orang sehat, menangis layaknya orang sedih aku seakan mendengarnya mengatakan,
‘Dunia, oh dunia! Kau ingin memamerkan diri padaku atau membuatku menginginkanmu? Tidak mungkin, tidak mungkin. Silahkan kau perdaya aku. Aku telah menjatuhkan talak tiga kepadamu tanpa adanya rujuk lagi! Umurmu singkat, kehidupanmu hina dan bahayamu besar. Oh minimnya bekal, jauhnya perjalanan, dan sepinya jalan!” (Shalahul Ummah, Dr. Sayyid Husain (VI/67). []
Sumber: Biografi 35 Shahabiyah Nabi/Syaikh Mahmud Al-Mishri/Ummul Qura