ILMU aqidah disebut juga dengan istilah iman. Seperti di dalam hadits Jibril yang sangat terkenal, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan bahwa iman terdiri dari iman kepada Allah, para malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan iman kepada takdir. Keenam hal ini lah yang disebut dengan rukun iman.
Jika muncul pertanyaan, mengapa harus belajar aqidah? Itu artinya anda sudah berniat untuk belajar.
Maka mempelajari aqidah harus lebih dulu sebelum ilmu lainnya. Dalam dakwah pun demikian. Dakwah pada akidah dan tauhid itulah yang mesti jadi prioritas.
Apa dalilnya, belajar itu mulai dari aqidah dari yang lainnya?
Dari Jundub bin ‘Abdillah, ia berkata, kami dahulu bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami masih anak-anak yang mendekati baligh. Kami mempelajari iman sebelum mempelajari Al-Qur’an. Lalu setelah itu kami mempelajari Al-Qur’an hingga bertambahlah iman kami pada Al-Qur’an. (HR. Ibnu Majah, no. 61. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Ada beberapa faedah dari hadits di atas:
Para sahabat ketika kecil sangat semangat mempelajari hal iman (berbagai hal terkait rukun iman) sebelum perkataan dan perbuatan.
Para sahabat kecil juga semangat mempelajari dan menghafal Al-Qur’an.
Para sahabat sangat semangat belajar agama.
Pentingnya membekali diri dengan iman dan mempelajarinya, mulai dari beriman kepada Allah, iman kepada malaikat, iman kepada kitab Allah, iman kepada para Rasul, iman kepada hari akhir dan iman kepada takdir. Inilah asas akidah yang mesti ditanamkan dalam diri. Itulah yang kita kenal dengan rukun iman yang enam. Iman seperti ini yang harus ditanamkan dengan benar sebelum mempelajari Al-Qur’an.
Mempelajari Al-Qur’an jadi bermanfaat jika memiliki bekal iman yang shahih.
Akidah hendaklah sudah ditanamkan pada anak-anak kita sejak dini. Sudah benarkah imannya pada Allah, sebagai penciptanya, pemberi rezeki, dan pengatur alam semesta. Semisal pula, sudah benarkan ia jadikan Allah sebagai satu-satunya ilah.
Dalam dakwah juga mesti memprioritaskan dakwah pada aqidah. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
“Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz ke Yaman, ia pun berkata padanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum dari ahli kitab. Maka jadikanlah dakwah engkau pertama kali pada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah Ta’ala. Jika mereka telah memahami hal tersebut, maka kabari mereka bahwa Allah telah mewajibkan pada mereka shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah shalat, maka kabari mereka, bahwa Allah juga telah mewajibkan bagi mereka zakat dari harta mereka, yaitu diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan disalurkan untuk orang-orang fakir di tengah-tengah mereka. Jika mereka menyetujui hal itu, maka ambillah dari harta mereka, namun hati-hati dari harta berharga yang mereka miliki.” (HR. Bukhari, no. 7372; Muslim, no. 19).
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Aku diperintah untuk memerang manusia hingga mereka bersaksi bahwa tiada ilah (sesembahan) yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, serta mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Jika mereka telah melakukan yang demikian, terpeliharalah dariku darah serta harta mereka, melainkan dengan hak Islam. Sedangkan perhitungan mereka diserahkan pada Allah Ta’ala.” (HR. Bukhari, no. 25; Muslim, no. 21)
Aqidah adalah parameter diterimanya amal di sisi Allah. Lawan dari aqidah adalah syirik, dan orang yang melakukan syirik tidak akan diterima amalnya oleh Allah. []
SUMBER: RUMAYSHO