ISTILAH jumhur, mungkin termasuk sebuah istilah yang sering kita dengar atau kita baca, terkhusus dalam masalah fiqh. Yang dimaksud jumhur di sisi ahli fiqh, adalah tiga madzhab berbanding dengan satu madzhab dari empat madzhab yang masyhur.
Misalnya: Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi’iyyah berpendapat boleh dalam suatu masalah. Sedangkan Hanabilah berpendapat tidak boleh. Maka pendapat yang menyatakan boleh disebut pendapat jumhur (mayoritas).
Memang benar, pendapat jumhur ulama’ (mayoritas ulama) bukan dalil dan tidak pasti benar. Namun, pendapat mereka secara umum/mayoritas di atas kebenaran sehingga dapat dijadikan indikasi dan murajjihat (penguat) untuk suatu pendapat. Oleh karena itu, hampir tidak didapatkan suatu pendapat jumhur, kecuali dalil bersama mereka dalam masalah tersebut baik secara langsung atau tidak langsung. Walaupun sepintas kelihatannya lemah dan tidak memiliki dalil, namun jika diteliti dengan cermat, maka tidak demikian adanya.
BACA JUGA: Cermin Akhlak Ulama Salaf dalam Hal Saling Menasihati
Hal ini disaksikan oleh penelitian dan akal sehat. Bahwasanya kekuatan suatu pendapat dan kesalamatannya dari kesalahan, lebih dominan secara umum bersama mayoritas ulama’. Dengan catatan, selamat masalah tersebut masih memiliki kemungkinan benar dan salah (bukan masalah yang hukumnya sudah pasti). Sangat banyak contoh-contoh dalam masalah ini yang sangat sulit untuk dibatasi.
Merajihkan (menguatkan suatu pendapat) dengan menggunakan indikasi penguat dengan pendapat jumhur, juga merupakan amaliah para ulama’ salaf. Imam An-Nawawi –rahimahullah- berkata :
قال الشافعي -رحمه الله-: وأحتج بمرسل كبار التابعي إذا أسند من جهةٍ أخرى، أو أرسله من أَخَذَ عن غير رجال الأول ممن يقبل عنه العلم، أو وافق قول بعض الصحابة، أو أفتى أكثر العلماء بمقتضاه.
“Asy-Syifi’i –rahimahullah- berkata : Aku berhujjah/berdalil dengan mursal tabi’in senior apabila diisnadkan (diriwayatkan) dari jalur lain, atau dimursalkan oleh seorang rawi dari selain jalur yang pertama dari orang-orang yang diambil ilmunya, atau mencocoki pendapat sebagian sahabat, atau isinya telah DIFATWAKAN OLEH MAYORITAS ULAMA’”. [ Majmu’ Syarhul Muhadzdzab : 1/103 dan Ar-Risalah : 462-463 ].
Hadits mursal sebenarnya termasuk hadits dhoif. Akan tetapi makna yang terkandung di dalamnya terkadang bisa diterima atau diamalkan jika ada beberapa penguat dari sisi-sisi yang lain, salah satunya bahwa isi hadits tersebut telah menjadi fatwa atau pendapat dari mayoritas ulama’. Ini salah satu metode istidlal (berdalil) di sisi imam Asy-Syafi’i.
Sering kali para ulama’ berpendapat dalam suatu masalah berdasarkan hadits dhoif (lemah), disebabkan kandungan hadits tersebut sudah menjadi amaliah atau pendapat mayoritas ulama’. Sebagai contoh Imam At-Tirmidzi –rahimahullah-. Contohnya hadits larangan bagi orang yang junub dan wanita haid untuk membaca Al-Qur’an. Dimana nabi –shollallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda :
لَا تَقْرَأِ الحَائِضُ، وَلَا الجُنُبُ شَيْئًا مِنَ القُرْآنِ
“Wanita haid dan orang junub jangan membaca Al-Qur’an sedikitpun.”
Hadits ini dhoif (lemah). Akan tetapi Imam At-Tirmidzi berpendapat dengan kandungan isinya mengikuti mayoritas ulama’. Beliau berkata setelah membawakan hadits di atas :
وَهُوَ قَوْلُ أَكْثَرِ أَهْلِ العِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَالتَّابِعِينَ، وَمَنْ بَعْدَهُمْ مِثْلِ: سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ، وَابْنِ المُبَارَكِ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَحْمَدَ،وَإِسْحَاقَ
“Dan hal itu (larangan membaca Al-Qur’an bagi wanita yang sedang haid dan orang junub) merupakan pendapat MAYORITAS ULAMA’ dari kalangan sahabat nabi, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka seperti : Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarok, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq bin Rahawaih”. [Sunan At-Tirmidzi : 1/326 ].
Ibnu Qudamah –rahimahullah- berkata :
فكان ما ذكرناه مع موافقة الأخبار وقول أكثر أهل العلم أولى
“Maka apa yang telah kami sebutkan bersamaan dengan adanya kesesuaian dengan berbagai hadits dan (kesesuaian) dengan pendapat mayoritas ulama’ LEBIH UTAMA…”[ Al-Mughni : 9/613 ].
Imam Malik bin Anas –rahimahullah- berkata :
إن حقّا على من طلب العلم أن يكون له وقار وسكينة وخشية، وأن يكون متبعًا لأكثر مَنْ مضى قبله
“Sungguh wajib bagi penuntut ilmu untuk tenang dan punya rasa khosyyah (takut kepada Alloh) serta hendaknya dia mengikuti MAYORITAS (ULAMA’) dari orang-orang yang telah berlalu sebelumnya”. [ Diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dari beliau. Simak muqoddimah Al-Mudawwanah ].
Oleh karena penjelasan di atas, para ulama’ salaf adalah orang-orang yang sangat hati-hati sekali untuk menyelisihi pendapat jumhur. Mereka tidak akan menyelisihinya, sampai benar-benar nyata kebenaran bagi mereka. Bahkan amaliah dan ciri khas mereka justru senantiasa mengikuti pendapat jumhur ulama’. Sampai-sampai Imam Al-Muzani –rahimahullah- memilih pendapat lama Imam Asy-Syafi’i dari pada pendapat beliau yang baru, gara-gara pendapat lama-lah yang berkesesuaian dengan pendapat jumhur.
BACA JUGA: Persatuan Ulama Sedunia Serukan Bela Al-Aqsha di Mimbar
Berlainan dengan sebagian orang di zaman ini. Menyelisih pendapat jumhur justru menjadi ciri khas mereka, dengan dalih mengikuti dalil. Bahkan penyelisihan terhadap pendapat jumhur, menjadi keberanian yang patut dibanggakan. Tidak jarang pula menuduh pendapat jumhur tidak bersandar kepada dalil. Sampai-sampai mengeluarkan suatu pernyataan konyol : Mau ikut dalil atau ikut ulama’?!* . Jadi ingat ucapan seorang penyair yang berkata :
كم من عائب قولا صحيحا آفاته من فهم سقيم
“Berapa banyak seorang yang mencela suatu pendapat yang benar….Sebabnya karena pemahaman yang sakit (rusak)”.
Demikian coretan kami kali ini. Semoga bermanfaat untuk kita sekalian. Barokallohu fiikum jami’an. []
Facebook: Abdullah Al Jirani