JADI ingat tahun 1991. Saat itu, duduk di kelas IV (1 SMA) Pesantren La Tansa. Salah seorang teman punya foto berisi pepohonan yang membentuk dua kalimat syahadat. Konon, pepohonan itu berada di Jerman. Ada versi yang menyatakan pepohonan itu hanya lukisan. Ada versi lain yang menyatakan pepohonan itu kemudian ditebang.
Meskipun demikian, saya mempercayai keberadaannya. Karena itu, dalam benak ini muncul pertanyaan: “Mengapa pepohonan itu berada di Jerman, tidak di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya muslim?”
Pepohonan itu menambah jejalan kata “Jerman” dalam benakku. Hal ini sebagaimana melalui jargon “berotak Jerman, berhati Mekah”. Selain itu, juga karena secara diam-diam sesekali setelah shalat shubuh saya membeli gorengan di rumah mang Kanta, mantan preman yang jadi petugas keamanan pondok.
Sambil menyantap gorengan, saya juga minjam radio mang Kanta dan menyetel siaran radio Jerman Deutsche Welle edisi bahasa Indonesia dari jam 05 s.d 06 pagi. Saya masih ingat, intro penyiar yang menyapa pemirsa: “Suara Jerman Deutsche Welle di Bonn”.
Teman saya lainnya, rupanya lebih dulu menginjak negeri yang saya bayangkan itu. Meskipun kami lulusan pertama pesantren ini yang sarat dengan berbagai kekurangan (karena gedung terbatas pernah belajar dengan duduk bersila di.mushola, di emperan asrama, waktu belajar sesekali digunakan untuk mengangkut batu bata, mengecor bangunan, guru sedikit hingga banyak mengajar tidak sesua latar belakang pendidikannya), teman saya itu berhasil.melanjutkan S2 teknik industri di Jerman selama dua tahun dan dilanjutkan kerja di sana tiga tahun.
Negeri yang dibayangkan itu akhirnya berhasil saya injak 23 dan 27 tahun kemudian (2014 & 2018). Bayangan pun menjadi kenyataan. Saat pertama kali ke Jerman, saya pun selfie dengan berlatar dua baris pepohonan yang daunnya berguguran di pinggir sungai di Frankfurt. Meski pepohonan itu tidak membentuk kalimat syahadatain, saya yakin pepohonan itu bertasbih kepada Allah yang bershalawat kepada Nabi Muhammad saw.
Tidak jauh dari pepohonan itu, dengan berjalan kaki saja bisa sampai ke Goethe Haus, tempat pujangga Jerman Goethe 1749-1832) dilahirkan dan dibesarkan. Pada tahun itu juga diperingati 200 tahun der West oestliche Divan, karya Goethe yang mulai ditulis tahun 1814 hingga 1819.
Dalam buku kumpulan syair ini.antara lain berisi keyakinan Goethe tentang keesaan Allah, kebenaran ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Selain itu, juga dipamerkan dan dijual buku tentang Goethe antara lain goresannya dengan aksara Arab salah satunya an-Nas.
Terlepas ada atau tidaknya pepohonan tersebut, Jerman negeri yang berpenduduk 80 jutaan dan 5 jutaan di antaranya muslim ini pada umumnya mereka diperlakukan dengan baik oleh pemerintahan pusat maupun negara bagiannya.
Hal ini antara lain menampung satu juta lebih pengungsi Muslim dari suriah dan akhir-akhir ini masjid di beberapa kota di sana dipersilahkan mengumandangkan adzan melalui pengeras suara hingga terdengar para warga yang mayoritasnya Kristen/Katholik tersebut.
Selain itu, goresan mushaf Al Qur’an yang ditulis oleh sahabat Nabi juga berada di sana. []