POLIGAMI dan pacaran—dua kata yang sering memicu perdebatan panas di ruang publik Indonesia. Yang satu dilegalkan secara agama namun kerap dipandang negatif, sementara yang lain dilarang dalam norma agama, namun dianggap lumrah dalam kehidupan sosial sehari-hari. Lalu, mengapa masyarakat cenderung lebih keras menolak poligami, tetapi tampak lebih longgar terhadap budaya pacaran?
Poligami: Legal tapi Tidak Populer
Dalam hukum Islam, poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat yang ketat: keadilan di antara istri-istri, kemampuan finansial, serta tujuan yang jelas dan bertanggung jawab. Bahkan, di Indonesia, praktik ini juga diatur dalam hukum negara melalui UU Perkawinan dengan prosedur khusus yang tidak mudah.
BACA JUGA: 6 Penyebab Banyak Orang Tua Muslim Izinkan Anaknya Pacaran, Padahal Islam Melarang!
Namun, di tengah masyarakat, poligami sering dianggap tabu. Banyak yang mengaitkan poligami dengan ketidakadilan terhadap perempuan, penyalahgunaan wewenang laki-laki, atau bahkan trauma sosial dari kasus-kasus yang tidak sehat.
Tidak sedikit pula yang menolak poligami karena alasan modernitas: konsep “satu pasangan seumur hidup” dianggap lebih romantis dan ideal secara emosional.
Pacaran: Dilarang Agama, Dibenarkan Sosial
Sebaliknya, pacaran adalah praktik yang nyaris umum di kalangan remaja dan dewasa muda. Meski agama secara tegas melarang hubungan yang mendekati zina dan menganjurkan ta’aruf sebagai alternatif, pacaran tetap dianggap wajar—selama “tidak kebablasan.”
Bahkan dalam banyak keluarga, anak remaja yang mulai pacaran tidak ditegur keras. Justru, ketika seorang laki-laki menikah lagi secara sah (poligami), reaksi masyarakat bisa jauh lebih keras.
Dimana Letak Ketidakkonsistenan?
Fenomena ini menunjukkan adanya standar ganda sosial. Masyarakat sering kali menilai sesuatu bukan dari benar-salahnya secara prinsip, melainkan dari persepsi umum dan kenyamanan emosional.
-
Poligami dianggap menyakitkan perasaan (terutama perempuan), sehingga ditolak, meski legal.
-
Pacaran dianggap bagian dari proses menuju kedewasaan, meski dilarang agama.
Padahal, jika diukur dari sisi kejelasan hukum agama, poligami lebih memiliki landasan yang jelas dibanding pacaran.
Faktor Media dan Budaya Populer
Media dan budaya populer juga memainkan peran besar. Sinetron, drama, lagu-lagu cinta—semuanya memperkuat narasi bahwa cinta harus melalui fase pacaran. Di sisi lain, poligami sering digambarkan dalam konteks perselingkuhan atau pria tak bertanggung jawab.
Akibatnya, persepsi masyarakat terhadap dua hal ini pun ikut terbangun oleh narasi yang dikonsumsi setiap hari.
Solusi: Kembali pada Prinsip, Bukan Emosi
Untuk menghadapi fenomena ini, masyarakat perlu menata ulang cara pandang terhadap hukum agama dan budaya.
-
Jika kita ingin hidup dengan nilai-nilai Islam, maka baik poligami maupun pacaran harus dinilai dengan standar yang sama adilnya.
-
Poligami yang dilakukan secara sah dan bertanggung jawab seharusnya tidak lebih buruk dari pacaran diam-diam yang bisa menjerumuskan pada zina.
-
Sebaliknya, pacaran yang melanggar batas justru harus dikritisi dengan cara yang edukatif dan solutif, bukan dinormalisasi begitu saja.
BACA JUGA: Mengapa Taaruf Sebelum Menikah Lebih Baik daripada Pacaran? Ini 6 Alasannya
Akhirnya, ini bukan soal memilih membela poligami atau membela pacaran. Ini tentang konsistensi nilai. Apakah kita benar-benar peduli pada prinsip, atau sekadar menilai berdasarkan perasaan dan opini mayoritas?
Menjadi masyarakat yang adil artinya berani bersikap kritis—tidak hanya pada apa yang terasa tidak nyaman, tetapi juga pada apa yang dianggap lumrah meski melanggar nilai-nilai dasar kita. []