NADZAR atau nazar secara etimologis berarti berjanji akan melakukan sesuatu yang baik atau buruk. Sedangkan menurut syariah, nazar adalah menetapkan atau mewajibkan melakukan sesuatu yang secara syariah asalnya tidak wajib.
Sikap seorang hamba mewajibkan diri sendiri tanpa paksaan, untuk melakukan perbuatan tertentu yang aslinya tidak wajib secara syariat, dalam rangka ibadah kepada Allah, dengan ucapan nadzar (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 40:136).
Atau dengan ungkapan yang lebih ringkas, nadzar adalah mewajibkan kepada diri sendiri untuk melakukan pebuatan tertentu yang pada asalnya tidak wajib, dalam rangka beribadah kepada Allah.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernazar, beliau bersabda, ‘Nazar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit),” (HR Bukhari nomor 6693 dan Muslim nomor 1639).
Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh nazar tidaklah membuat dekat pada seseorang apa yang tidak Allah takdirkan. Hasil nazar itulah yang Allah takdirkan. Nazar hanyalah dikeluarkan oleh orang yang pelit. Orang yang bernazar tersebut mengeluarkan harta yang sebenarnya tidak ia inginkan untuk dikeluarkan,” (HR Bukhari nomor 6694 dan Muslim nomor 1640)
Sebagian jumhur ulama sepakat berpendapat jika bernzar merupakan sebuah perbuatan makruh atau dalam kata lain lebih dianjurkan untuk tidak melakukan nazar. Tetapi jika kita sudah telanjur mengucapkan nazar, maka hukum melaksanakan nazar tersebut menjadi wajib adanya.
Lalu, bagaimana jika kita bernazar dalam hati? Hukum nazar yang tidak dilisankan (diucapkan dengan kata-kata) atau hanya terucap dalam hati maka hukumnya tidak sah sehingga menjadi tidak wajib bagi kita untuk memenuhi nazar tersebut.
Jika pada pelaksanaannya kita tidak sanggup melaksanakan nazar, bisakah nazar itu dibatalkan?
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud, tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah. Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur,” (QS Al-Maidah: 89).
Menurut QS. Al-Maidah ayat 89, jika kita tidak sanggup melaksanakan nazar yang sudah terucap, maka kita harus melakukan kaffarat sumpah untuk menebus atau membatalkan nazar tersebut. Ada pun kaffarat sumpah yang bisa kita lakukan ialah :
- Memberi makan sepuluh orang miskin dengan makanan yang biasa kita berikan kepada keluarga kita
- Memberi pakaian kepada mereka (orang miskin)
- Memerdekakan seorang budak
Kita bisa memilih salah satu di antara kaffarat dosa di atas, jika merasa tidak sanggup, maka kita bisa melakukan kaffarat dosa yang keempat, yaitu berpuasa selama tiga hari.
Maka ada baiknya kita bernazar hal-hal yang ringan dan tidak memberatkan kita di kemudian hari. Bahkan sebagian ulama mengibaratkan nazar sebagai utang yang harus dilunasi. Sehingga daripada menumpuk utang, baiknya kita beribadah sebanyak mungkin untuk menabung pahala. []
Sumber: Ummi