SETIAP manusia pasti tidak menginginkan dirinya menjadi orang yang termasuk golongan orang miskin atau orang yang serba kekurangan. Di mana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya itu serba susah.
Apalagi untuk membeli barang-barang mewah, itu hanyalah sebuah impian saja. Maka, dari itu, jangan posisikan diri kita sebagai orang miskin.
Ada sebuah kisah di Sidney, Australia, tentang seorang penjual roti. Suatu hari, seorang penjual roti kecil-kecilan didatangi oleh seorang ibu-ibu. Selesai memilih roti, si ibu ingin membayar, namun dicegah oleh si penjual roti.
BACA JUGA: Ini Kebiasaan yang Bakal Mengantarmu Jadi Orang Kaya atau Miskin
Sambil tersenyum, si penjual roti berujar, “Ambil saja, Bu. Anggap saja itu hadiah dari saya.” Si ibu pun senang. Keesokan harinya, si ibu menghadiahkan karangan Bunga untuk si penjual roti.
Kemudian, si penjual roti didatangi oleh seorang bapak-bapak. Selesai memilih roti, si bapak ingin membayar, namun dicegah oleh si penjual roti.
Si penjual roti berujar, “Ambil saja, Pak. Anggap saja itu hadiah dari saya.” Si bapak pun senang. Keesokan harinya, si bapak menghadiahkan gantungan kunci untuk si penjual roti.
Lalu, si penjual roti didatangi oleh seorang mahasiswa Indonesia. Selesai memilih roti, si mahasiswa ingin membayar, namun dicegah oleh si penjual roti.
Si penjual roti berujar, “Ambil saja, Dik. Anggap saja ini hadiah dari saya.” Si mahasiswa pun senang. Keesokan harinya apa yang terjadi?
Si mahasiswa langsung mengajak rekan-rekan Indonesia lainnya mendatangi si penjual roti. Yah, apalagi kalau berharap roti gratisan. Hehehe!
Kadang, miskin itu bukan hanya soal materi, tapi juga soal mental. Si penjual roti kecil-kecilan tadi, walaupun secara materi ia belum kaya, namun secara mental ia sudah kaya.
Si mahasiswa Indonesia, bisa jadi secara materi ia sudah kaya, tapi secara mental ia belum kaya. Ia masih miskin. Adalah kecelakaan besar apabila seseorang sudah jatuh pada miskin materi juga miskin mental.
Kalau miskin, jangan-jangan Anda malah:
– Dizakati dan disedekahi
– Dihajikan dan diumrahkan orang lain
– Susah untuk menuntut ilmu
– Membebani keluarga
– Membebani ekonomi umat
– Menelantarkan sarana umat
– Melemahkan bargaining position umat
– Melemahkan dakwah dan syiar agama
BACA JUGA: Kekayaan dan Kemiskinan Hakiki
Bayangkan, pemerintah berencana membangun perjudian di kota Anda.
-Apa yang bisa dilakukan oleh orang miskin? Yah, cuma 2D. Apa itu? Doa dan Demo. Tahukah Anda, ancaman ratusan demonstran terdengar bagaikan angina berlalu di telinga pemerintah dan penjudi?
-Apa yang bisa dilakukan oleh orang kaya? Juga 2D. Apa itu? Doa dan Duit. Cukup tiga orang kaya menemui walikota dan sedikit menekan, “Maaf Pak, saya dan teman-teman tidak setuju dengan rencana perjudian ini.
Sekiranya perjudian ini diizinkan juga, kami terpaksa menutup bisnis kami di kota ini dan mengalihkan investasi kami ke kota lain.”
Nah, kata-kata siapakah yang lebih didengar oleh walikota? Ratusan demonstran atau tiga orang kaya? Tentu saja, tiga orang kaya!
Lihatlah, apabila digunakan dengan benar, kekayaan itu dapat meningkatkan bargaining position umat. So practical, so powerful!
Bayangkan lagi, ada ustadz miskin, ada ustadz kaya.
Ustadz miskin berdakwah, “Pengen sukses? Rutinkan shalat dhuha.”
Ustadz kaya juga berdakwah, “Pengen sukses? Rutinkan shalat dhuha.”
Jelas, kata-kata mereka didengar oleh malaikat, akan tetapi kata-kata siapakah yang lebih didengar oleh umat? Tentu saja ustadz kaya!
BACA JUGA: Tips Kaya dan Berkah dalam Islam
Semestinya sih tidak boleh begitu. Siapa pun yang menyampaikan kebenaran, hendaklah didengar dan ditaati. Namun begitulah umat. Kadang umat lebih memperhatikan siapa daripada apa.
Dipesankan bahwa berdakwah itu sesuai bahasa kaumnya. Lha, apa bahasa kaum zaman sekarang? Yah, apalagi kalau bukan kekayaan!
Lihatlah, apabila digunakan dengan benar, kekayaan itu dapat memudahkan dakwah dan syiar agama. So practical, so powerful! []
Sumber: Percepatan Rezeki dalam 40 Hari dengan Otak Kanan/Karya: Ippho ‘Right’ Santosa/Penerbit: PT Elez Media Komputindo Kompas Gramedia