RASULULLAH saw berlakukan dinar (uang emas) dari Romawi yang di dalamnya masih terdapat inskripsi Kristiani dan lambang salib. Beliau juga berlakukan dirham (uang perak) dari Persia yang di dalamnya terdapat inskripsi Majusi dan lambang Kisra.
Demikian juga, pada masa khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar bin Khathab. Pada tahun 20 hijriah, beliau berijtihad sisipkan inskripsi beraksara Arab yang berisi tulisan Islami pada dirham. Karena itu, pada masa tersebut dirham yang digunakan di Arab di dalamnya bercampur inskripsi Majusi dan Islami.
Pada tahun 75 Hijriah, Khalifah Abdul Malik bin Marwan menyempurnakan ijtihad Khalifah Umar. Beliau mencetak dinar dan dirham yang di dalamnya hanya tertulis inskripsi beraksara Arab yang Islami.
Mungkin dari peristiwa tersebut dapat diambil dua kata kunci, yaitu “hadits” dan “sunnah”. Hadits sebagaimana inskripsi Kristiani dan lambang salib dalam dinar dan inskripsi Majusi dan lambang Kisra pada dirham yang diberlakukan oleh Rasulullah saw.
Dengan demikian, tidak semua hadits menjadi sunnah. Karena itu, jika ada ijtihad para khalifah yang justru berdampak positif bagi umat Islam maka hal itu juga dapat dikatakan sunnah. Hal ini sebagaimana sabda beliau: “Kalian hendaklah mengikuti sunnahku dan sunnah para khalifah sesudahku yang lurus dan mendapatkan petunjuk Allah.
Karena itu, di dalam ijtihad para khalifah tersebut terdapat spirit kepada para pemimpin selanjutnya sebagaimana para sultan terdahulu di Nusantara. Jauh sebelum masuknya peradaban Buddha dan Hindu, di Nusantara sudah hadir tradisi peringatan 3, 7, 40 hari setelah kematian, 7 bulan saat kehamilan seorang ibu dan sebagainya.
Dalam tradisi-tradisi tersebut semula dibacakan bacaan bernuansa animisme/dinamisme yang selanjutnya diganti bernuansa Hindu atau Buddha. Setelah umat Islam makin tersebar, para ulama dan para sultan pun berijtihad adakan baca surat Yasin secara berjamaah pada peringatan kematian. Mereka juga berijtihad adakan baca surat Yusuf atau surat Maryam pada acara tujuh bulanan.
Mengapa mereka berijtihad adakan baca surat Yusuf atau surat Maryam pada acara tersebut, bukan surat surat yang lain?
Salah satu hikmahnya, karena surat Yusuf itu kata Allah adalah sebaik-baiknya kisah. Di dalamnya antara lain berisi perjuangan Nabi Yusuf as yang mampu mengendalikan syahwat matanya saat diperangkap oleh perempuan cantik jelita hingga sekamar hanya keduanya. Mungkin, salah satu balasan dari Allah selama hidup di dunia yaitu kemampuan Nabi Yusuf untuk menakwilkan mimpi hingga dapat melihat apa yang akan terjadi. Nabi Yusuf dapat melihat akan terjadinya paceklik sekaligus cara mengatasinya.
Kisah Nabi Yusuf tersebut boleh jadi tertanam pada generasi muda muslim di Nusantara 13 abad yang lalu dan seterusnya. Mereka yang semula minoritas bergaul dengan lawan jenis dan belum menjadi Muslimah yang berpakaian minim. Namun, generasi muda yang segelintir itu mampu mengendalikan pandangan syahwat matanya.
Hasil jihad mengendalikan syahwat mata itu, mungkin Allah balas dengan kemampuan mereka menjadi hidupnya sejahtera hingga mensejahterakan orang-orang di sekelilingnya. Karena itu, ajaran Islam yang dibawa oleh mereka terlihat indah bagi umat Hindu atau Buddha. Karena itu, mereka menjadi minoritas sedangkan umat Islam jadi mayoritas.
Lalu, bagaimana hasilnya ketika baca surat Yusuf secara berjamaah itu kurang dihayati, atau niat yang adakan acara tersebut keliru, supaya anak yang dikandung tampan dan mendapat pujian orang, atau muncul kelompok-kelompok di kalangan umat Islam yang menghukumi bid’ah dholalah pada tradisi tersebut dengan alasan tdk ada contohnya dari Nabi?
Generasi umat Islam kini, jangankan dapat melihat akan terjadinya krisis di kemudian hari berikut solusinya, melihat uang kertas sebagai kemungkaran saja tidak bisa melihatnya. Akibatnya, sistem uang kertas yang dikendalikan kaum kapitalis itu berhasil menjauhkan umat Islam dan umat lain dari nilai-nilai yang dianutnya sebagaimana terkait pakaian. Betapa banyak perempuan yang mengumbar aurat baik dalam kehidupan nyata maupun dalam dunia maya. Karena itu, semakin banyak generasi muslim yang rabun hingga buta mata hatinya hingga kini belum bisa keluar dari berbagai krisis.
Dengan kemaksiyatan yang sering disaksikan dalam kehidupan sehari-hari itu, maka cahaya Allah dalam al Quran dan sunnah tdk dapat menjadi petunjuk, jangankan bagi umat lain buat umat Islam saja belum bisa, malah kini semakin terpuruk, dengan semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar as. (1 dollar tahun 1946 = Rp 2 kini Rp. 13.000). Karena itu, berbagai kekayaan alam di Nusantara semakin murah dalam dollar. Sekian ha hutan sebagai penyangga daratan pun semakin banyak yang lenyap. Akibatnya, ketika musim panas terasa semakin panas, ketika musim hujan, banjir dan longsor terjadi di mana-mana.
Imam Syafi’i berkata: “Cahaya Allah itu tidak akan menjadi petunjuk bagi para pelaku maksiyat”.
Wallahu a’lam bis showab. []