ZUBAIDAH masih termangu di kamarnya. Perempuan 36 tahun itu bingung bukan kepalang. Betapa tidak, pagi tadi, ia menerima lamaran dari ustadz Jaelani yang selama ini menjadi guru di pengajiannya. Sebagai janda yang masih muda ia tentu masih berkeinginan untuk menikah lagi. Apalagi, bebannya sebagai single parent dengan 3 anak yang masih kecil teramat berat jika harus ia tanggung seorang diri.
Tapi, sebagai wanita ia juga tidak tega jika lamaran ustadz Jaelani kepadanya membuat hati istri sang ustadz terluka. Bukan apa-apa, sebagai sesama wanita ia bisa merasakan bagaimana sakitnya hati seorang istri jika suami mencari istri lagi.
Ia tahu, agama tidak melarang seseorang memiliki istri lebih dari dua, tetapi ia belum bisa menerima jika dirinya harus menerima cap masyarakat sebagai wanita yang merampas suami orang.
Apa yang dialami Zubaidah pasti pernah dialami oleh banyak wanita yang pernah dipinang untuk menjadi istri kedua atau kini sudah menjadi istri kedua. Bermacam alasan dan pertimbangan muncul di dalam benak sebelum akhirnya seseorang menerima atau menolak menjadi seorang madu.
Istri kedua, acapkali lolos dari pengamatan masyarakat umum. Bila sudah memasuki perbincangan poligami, yang disorot biasanya hanya pelaku poligami dan si istri pertama. Padahal, lolosnya pengamatan ini menjadi kurang seimbangnya persoalan poligami itu sendiri diejawantahkan, baik dalam ruang lingkup wacana maupun parktiknya.
Poligami memang diperbolehkan dalam Islam. Namun, kelegalitasannya terus menjadi perbincangan tatkala praktik poligami yang terjadi sering menimbulkan kedzaliman, ketidakseimbangan dan disharmonisasi dalam rumah tangga.
Pada ranah yang rawan menimbulkan konflik ini, sebetulnya kearifan dari perempuan yang akan dimadu juga jadi penentu harmonis dan tidaknya rumah tangga poligami. Walau pada kenyataannya, saat memutuskan diri untuk dipoligami, nyaris jarang memikirkan atau menimbang kondisi madu dan anak-anaknya.
Mayoritas perempuan mau menerima tawaran dimadu tanpa pertimbangan matang. Tak peduli. Kadang dirinya sudah merasa tenang melihat calon suami yang akan menikahinya bertanggung jawab. Gambaran istri pertama yang nrimo dan ikhlas, cukuplah menjadi persoalan sang suami.
Semestinya, begitu seorang perempuan siap menerima pinangan suami orang, harusnya ia pun siap menyelami perasaan dan kondisi yang dirasakan calon madunya. Ini, paling tidak, agar terjadi harmonisasi, kendati bersifat nisbi.
Tetapi jika diselami lebih jauh, apa yang menyebabkan perempuan mau dipoligami? Sedikitnya, beberapa faktor berikut bisa dijadikan alasan mereka mau dimadu.
1. Materi-Popularitas
Di ranah perkotaan, alasan materi dan popularitas menjadi hal mendasar kenapa seorang perempuan mau dimadu. Soal konsekwensi yang akan diterima menjadi nomor kesekian.
Di kalangan para artis misalnya, banyak yang menyembunyikan status sosialnya lantaran menjadi istri kedua. Pernikahan yang berlangsung pun kebanyakan dilakukan secara sirri (rahasia). Biasanya hal itu akan terungkap tatkala sudah terjadi perceraian di antara mereka.
Disembunyikannya status social tersebut biasanya karena pertimbangan public figure. Tetapi tidak sedikit pula yang menyembunyikan statusnya meski mereka bukan dari kalangan selebritis.
Selain menyembunyikan identitas, faktor materi ini kerap menjadi alasan utama seorang perempuan menerima pinangan sebagai istri kedua. Mereka yang mau dimadu karena alasan ini dilatarbelakangi oleh beban hidup yang harus ditanggungnya, namun tak mampu mencukupinya sendiri sebagaimana yang dialami Zubaidah.
BERSAMBUNG
REDAKTUR: RIKA RAHMAWATI | SUMBER: MAJALAH HIDAYAH EDISI 67