Oleh : Melvi Yendra, melvi_yendra@yahoo.com
PEREMPUAN tua itu datang ke lokasi pembangunan SDN 03 Batang Anai, Kecamatan Suaian, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, membawa sebuah keranjang plastik berisi bakwan, tahu, dan salalauk. Salalauk adalah camilan yang terbuat dari singkong yang digoreng bulat-bulat berisi ikan teri kecil sebesar bola pingpong. Salalauk adalah salah satu jajanan khas di daerah Minang Kabau.
Yulinar, 60 tahun, rupanya sudah akrab dengan para pekerja proyek pembangunan sekolah yang runtuh akibat gempa beberapa waktu lalu itu. Sejak proyek dimulai pada 10 Desember tahun lalu, Yulinar sering mangkal di tempat itu. Ketika datang, keranjang Yulinar yang penuh oleh jajanan langsung dikerubungi para pekerja. Rasanya enak dan gurih. Masih hangat pula. Rupanya, setelah digoreng di rumahnya yang ada di belakang sekolah, Yulinar langsung membawanya ke sana.
“Satunya lima ratus,” katanya. Lumayan murah. Satu dua pekerja mengambil kantong kresek dan membeli 20 sampai 40 potong tahu, bakwan, atau salalauk kemudian dibawa pergi untuk dimakan beramai-ramai di dalam sekolah.
“Suami Ibu tidak bisa lagi mencari nafkah sejak sakit ambeien beberapa tahun lalu. Otomatis, sekarang Ibu yang menafkahi keluarga,” ungkapnya. Perempuan yang lahir dan besar di Batang Anai ini memiliki tujuh orang anak yang semuanya sudah besar-besar. “Yang paling tua sudah 40 tahun, dan yang paling kecil 19 tahun,” katanya. Empat orang anaknya sudah berkeluarga. Di antara mereka semua, hanya si bungsu yang sekarang tinggal bersamanya. Lainnya sudah mandiri dan tinggal sendiri-sendiri. Suaminya, Ahmad Denar (65) sekarang hanya menganggur di rumah.
Yulinar membuat jajanan tahu, bakwan, dan salalauk hampir setiap hari, non-stop sepanjang tahun. Bahkan, kadang-kadang di Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha pun dia tetap berjualan. Setiap hari dia mengeluarkan modal Rp 60 ribu untuk membeli bahan dan kalau semua gorengan itu habis, dia bisa mengantongi keuntungan bersih sekitar Rp 40 ribu.
“Yang lebih sering berjualan itu sebenarnya Yusuf. Saya hanya sesekali saja kalau dia lagi ada urusan. Biasalah, orang muda,” ungkap Yulinar. Yusuf atau lengkapnya Muhammad Yusuf adalah anak bungsu Yulinar yang sekarang masih bersekolah di SMK Negeri 10 Lubuk Buaya, Kotamadya Padang, jurusan pelayaran. Menurut Yulinar, sejak dia mulai beranjak tua, anak bungsunya itu melarangnya bekerja terlalu lelah. “Biar Yusuf saja yang menggaleh, Mak,” kata Yulinar menirukan Yusuf. Yusuf memang anak berbakti. Dia bahkan tidak segan membawa gorengan itu ke sekolahnya dan menjualnya kepada teman-temannya.
Selain membuat jajanan, Yulinar juga bekerja sebagai penggarap sawah harian dengan upah satu kulak padi per hari. Satu kulak setara dengan 2 gantang (5 liter) beras. Kadang dia diupah dengan 12 liter padi. Sehari-hari, setelah memasak gorengan yang akan dijajakan Yusuf, Yulinar pergi ke sawah tengah hari. Setelah itu dia pulang dan istirahat. Luar biasanya, rutinitas itu sudah dijalaninya selama 40 tahun. Walaupun anaknya banyak, tapi tak satu pun yang mengecap pendidikan tinggi. Hanya beberapa orang saja yang bisa mengecap bangku SMP dan SMA seperti Yusuf. Sebagian besar sudah berhenti sekolah sejak masih SD, dan bekerja serabutan menjadi penggarap sawah harian. Jadi, memang tak ada yang bisa menanggung beban hidupnya ketika dia sudah tua seperti sekarang.
“Alhamdulillah, sampai sekarang masih bisa makan,” kata Yulinar. Walaupun tidak yakin dengan keadaannya sekarang, Yulinar masih berharap suatu saat kelak bisa naik haji ke Mekah. “Si Yusuf pernah janji kalau ada umur dan rezeki akan bawa saya naik haji, kelak,” katanya sedikit berkaca-kaca. “Yusuf itu cita-citanya tinggi. Dia ingin kuliah. Kalau bisa di Unand (Universitas Andalas) atau UNP (Universitas Negeri Padang),” tambahnya. “Tapi kalau melihat keadaan kami sekarang, rasa-rasanya cita-citanya itu agak sulit dicapai,” pungkasnya. []
Kirim RENUNGAN Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word.