Oleh: Erna Dwi Susanti, S.ST, C.Ht.
Pekerja Sosial Fungsional Ahli Pertama Kementerian Sosial RI
ernapeksos@gmail.com
AWAL tahun ini sebuah berita kejutan harus kita terima, mengharukan bagi satu pihak meski barangkali dapat membahagiakan di pihak lain. Berita di mana sepertiga dari kita menjadi pelaku, sepertiga menjadi korban, dan sepertiganya lagi adalah penonton. Seluruh masyarakat negeri sepertinya menyimak konten sadis yang sedang viral karena melibatkan aksi ekstrem lansia guyur air, orang paruh baya mandi lumpur, makan lumpur dan ide abnormal sejenisnya.
Transaksi Bullying
Beberapa kanal media sosial bukan hanya TikTok, telah digunakan oleh beberapa pihak untuk konten-konten abnormal yang sifatnya jual-beli (transaksi). Sebagaimana yang disampaikan Muhammad Heychael seorang peneliti media dari Universitas Multimedia Nusantara yang menyebut bahwa konten seperti itu hakikatnya adalah bullying yang ditransaksikan.
BACA JUGA: Fenomena Pengemis Online dan 5 Syarat Tercela dalam Mengemis
Sebuah aksi bully yang seolah murni sebagai hiburan, padahal faktanya ada pihak yang memberikan gift (hadiah) di TikTok hanya untuk menyaksikan orang lain menderita. Penderitaan yang ia saksikan di layar gadget itu menjadi sebuah kepuasan akan hiburan. Mereka telah membayar sehingga menguasai melalui gift yang diberikan. Terhibur di atas objek yang mengais hadiah dengan penderitaan, Transaksi, ada penjual dan ada pembeli. Saat proses live penayangan, mereka yang memiliki uang akan membayar, penonton lain yang hanya sekedar mellihat juga turut terhibur. Apakah kondisi ini baik-baik saja?
Tentu saja tidak. Ada sebuah skema berpikir yang harus diluruskan. Penderitaan yang dipertontonkan dengan kemasan hiburan seperti ini menjadi bagian dari bullying. Bukankah sudah lama kita berkomitmen untuk melawan kasus bullying di sekitar kita? Lantas kenapa masih menikmati hiburan kesedihan atau pesakitan yang diperjualbelikan seperti ini?
Komodifikasi Kemiskinan
Pengamatan yang telah banyak dilakukan membuahkan kesimpulan pola bahwa kasus (maaf) mengemis di media sosial seperti YouTube, Instagram, dan lain sebagainya sering melibatkan objek rawan seperti anak hingga lansia. Jika di dunia nyata mereka menggunakan orang disabiltas. Di dunia maya mereka melibatkan kalangan yang rentan. Keterlibatan mereka dalam konten sangat berpeluang menjadi eksploitasi kemiskinan. Setelah dianggap memiliki pasar, akan ada ide komersiil yang memanfaatkan untuk memperjual belikan “kamu cari saya beri, kamu jual saya beli”.
Beriringan dengan adanya kasus eksploitasi ada upaya komodifikasi. Setelah dianggap laku di pasaran, keterlibatan objek tertentu yang dianggap memiliki nilai simpati yang lebih bagi penonton tentunya menjadi satu komoditas yang harus dipertahankan. Di sinilah seperti yang disebut oleh pakar komunikasi digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan dengan komodifikasi. Komodifikasi dimaksud sebagai upaya untuk menjual sesuatu yang bukan komoditas tapi dijadikan sebagai komoditas. Kemiskinan (mengemis dan meminta hadiah) menjadi sebuah produk yang kemudian diperjual belikan dalam suatu penayangan.
Sebuah hiburan, dengan objek penderita dari kalangan yang rentan, syarat dengan bullying, dan eksploitasi seolah menjadi bumbu yang sempurna untuk menyebut konten-konten seperti ini sebagai komodifikasi kemiskinan.
Kerangka Kreativitas?
Barangkali bagi sebagian pihak akan menyebut serta menyetujui bahwa ini adalah bagian dari kreativitas para pencipta konten (content creator). Tentunya benar juga, di mana para pencipta konten di awal tahapan mereka merancang satu gagasan untuk menarik penonton.
BACA JUGA: Bolehkah Mengemis dalam Islam?
Mengemas ide semenarik mungkin, selanjutnya didukung dengan kebijakan beberapa platform yang memberikan feedback berupa keuntungan finansial dalam setiap penayangan. Perkara ide kreatif mungkin sampai di titik ini. Namun perihal substansi konten, kita harus menimbang beberapa norma dan aturan.
Mungkin dalam kebijakan komunitas di platform tertentu belum menuangkan aturan secara rinci perihal bentuk pelanggaran semisal bullying yang dimaksudkan di atas. Namun dalam filter berupa etika harusnya tetap diprioritaskan. Apakah suatu konten bersifat etis atau tidak etis, layak atau tidak layak, minimal harus menjadi patokan sebelum disebarluaskan.
Sejatinya “setiap orang menjadi guru dan setiap rumah menjadi sekolah”*, bukankah kita harus mengajarkan kebaikan agar generasi kita menjadi baik. Karena Ki Hajar Dewantara tidak salah memberikan petuah bijaknya untuk kita semua. []