Oleh: Muqaddim Karim
Mahasiswa S2 Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
karimmuqaddim@gmail.com
AGAMA Islam merupakan agama yang terbuka. Semangat keterbukaan itu merupakan realisasi dari kedudukan umat Islam sebagai umat penengah. Keterbukaan umat Islam juga ditandai dengan sikap positifnya terhadap bangsa-bangsa lain.
Sikap-sikap inilah yang membawa islam sebagai peradaban pertama yang menyatukan khasanah bersama secara internasional. Berkenaan dengan itu, sejarah telah mencatat bahwa peradaban umat Islamlah yang pertama kali menginternasionalkan ilmu pengetahuan.
Internasionalisasi ilmu pengatahuan mereka lakukan dalam dua bentuk, yakni;
Petama, sesuai dengan kedudukan dan tugas suci umat Islam sebagai umat penengah dan sebagai saksi atas manusia sebagaimana dalam Q, S. Al-Baqarah/2:143. Di sisi lain, Kneller juga pernah mengatakan bahwa umat Islam telah berhasil menyatukan dan mengembangkan semua warisan ilmu pengetahuan umat manusia dari hampir seluruh muka bumi.
BACA JUGA: Penyebab Tidak Berkahnya Ilmu
Kedua, sesuai dengan ajaran agama Islam bahwa ajaran agama harus membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia sebagai rahmat bagi seluruh alam. Ilmu pengetahuan yang telah mereka satukan dan kembangkan itu mereka sebarkan ke seluruh umat manusia tanpa parokialisme dan fanatisme.
Dua alasan inilah yang menempatkan umat Islam sebagai pewaris berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, pengaruh Islam terhadap ilmu pengetahuan moderen menjadi sangat sentral posisinya karena pengaruh itu meliputi hampir semua bidang kajian. Hal ini menempatkan umat Islam pada masanya menjadi pemimpin intelektual dunia selama sekurang-kurangnya empat abad.
Puncaknya pada masa kekuasaan Khalifah Harun Al_Rasyid dan diteruskan oleh puteranya Al_Ma’mun. Saat itu, barat (Eropa) masih berada dalam kegelapan mutlak. Hingga tahun 1000 M, eropa masih begitu terbelakanhg, dan harus bersandar secara total kepada ilmu pengetahuan dunia Islam.
Melalui berbagai kontak dengan orang Muslim di berbagai tempat, orang-orang Eropa mulai mengenal kembali ilmu pengetahuan. Pada abad kesebelas mereka baru tergerak secara intelektual dalam Skolastisisme, yang dari situ kemudian menuju Renaissance, titik tolak abad modern.
Di tengah peranan umat Islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan secara tidak langsung punya andil besar dalam menyongsong abad moderen ini, dalam lingkup Islam sendiri terdapat 4 disiplin keilmuan tradisional Islam yang telah berkembang sampai saat ini.
Empat keilmuan ini penting untuk diketahui sebagai kebanggan atas kekayaan khasanah keilmuan dalam Islam. Meski tidak jarang antara empat disipilin ilmu tersebut bertentangan satu sama lain.
Pertentangan itu terjadi disebabkan oleh cara pandang serta pengaruh sosio-politik yang berlangsung pada masanya. Ke empat disiplin keilmuan tradisional itu adalah keilmuan Fiqih (Ilm al-Fiqh), Ilmu Kalam (Ilm al-Kalam), Tasawuf (Al_Tasawwuf), dan Filsafat (Al_Hikmah).
Ilmu Fiqih (Ilm al-Fiqh)
Di antara empat disiplin keilmuan tradisional islam itu, Ilmu Fiqih menjadi ilmu yang paling populer dan mendominasi pemahaman tentang agama. Dominasi ini kemudian mempengaruhi dan membentuk cara berpikir kalangan umat islam kebanyakan.
BACA JUGA: Lebih Utama Menuntut Ilmu di Malam Hari ataukah Shalat Malam?
Sama halnya dengan keilmuan tradisional islam lainnya, Ilmu Fiqhi juga telah ada dan tumbuh sejak masa kenabian. Ilmu Fiqih dalam pengertiannya sebagai hukum seperti yang sekarang umum dipahami orang, akarnya tidak bisa dilepaskan dari salah satu peranan Nabi Muhammad SAW sebagai sebagai hakim pemutus perkara.
Tugas itu ia jalankan selama beliau mengemban tugas suci kerasulan, khususnya selama periode sesudah hijrah ke Madînah. Di samping tugas kemasyarakatan lainnya yang Nabi emban sebagai pemimpin masyarakat politik di Madinah.\
Nampak jelas orientasi dari Ilmu Fiqih dalam Islam sebagai pengaturan tatanan hidup masusia di dalam tatanan sosial. Meskipun masalah-masalah ibadah juga termasuk ke dalam Ilmu Fiqih bahkan justru merupakan hal pertama-tama dibahas dalam ilmu Fiqih.
Namun jika ditelaah lebih jauh, pandangan Fiqih terhadap ibadah pun tetap berorientasi hukum. Dalam hal ini terkenal pembagian hukum yang lima: wajib, mandub, mubah, makruh dan haram. Hal ini memperjelas kembali bahwa keilmuan Fiqih tetap pada orientasi hukum.
Pertumbuhan Ilmu Fiqih paling formatif terjadi pada masa Hârûn Al_Rasyîd (168-191 H/786-809 M). Pada masa itu hidup seorang teman dan murid Abu Hanifah yang bernama, Abu Yusuf (113-182 H/732-798 M). Harun Al_Rasyid pernah meminta kepada Abu Yusuf untuk menulis buku tentang Al-Kharaj (semacam sistem perpajakan) menurut hukum Islam.
Abu Yusuf menulis buku yang diminta oleh Harun Al_Rasyid dengan nama Kitab al-Kharaj. Buku itu kemudian menjadi lebih dari sekedar membahas soal perpajakan, melainkan telah menjelma menjadi usaha penyusunan sistematika dan kodifikasi ilmu Fiqih yang banyak ditiru oleh ahli-ahli yang datang kemudian.
Ilmu Kalam (Ilm al-Kalam)
Ilmu Kalam mempunyai ciri khas yang terletak pada aspek rasionalitas dan logika. Karena kata “kalam” sendiri memang dimaksudkan sebagai terjemahan dari kata Yunani logos yang secara harfiah berarti “pembicaraan”.
Selain itu, dalam studi klasik pemikiran keislaman, Ilmu Kalam mempunyai banyak penyebutan, di antaranya Ilm Al-Aqa’id (Ilmu Akidah-akidah, yakni Simpul-simpul (Kepercayaan)), Ilm al-Tawhid (Ilmu tentang ke-maha esaan Tuhan), dan Ilm Ushul al-Din (Ilmu Ushuluddin, Ilmu Pokok-pokok Agama). Dari situ kemudian Ilmu Kalam dianggap menempati posisi yang cukup terhormat dalam tradisi keilmuan Muslim.
Kembali pada peristilahan logika atau logos, dalam bahasa Arab, berarti manthiq, sehingga ilmu logika dalam Islam, khususnya logika formal atau silogisme Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq (Ilm al-Manthiq).
BACA JUGA: Saat Kau Kesulitan Mengamalkan Ilmu
Dari penjelasan itu dapat dimaknai bahwa Ilmu Kalam sangat erat kaitannya dengan Ilmu Manthiq atau Ilmu Logika. Ilmu itu mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka berhasil menaklukkan daerah-daerah yang berlatar belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme).\
Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria.
Jika dalam Ilmu Fiqhi berorientasi pada hukum, maka Ilmu Kalam mengarahkan pembahasannya pada segi-segi mengenai Tuhan dan berbagai variasinya. Oleh sebab itu, tidak sedikit ahli yang menghendaki pengertian yang lebih persis dalam menerjemahkan Ilmu Kalam sebagai Teologi Dialektis atau Teologi Rasional.
Mereka melihatnya sebagai suatu disiplin yang sangat khas Islam. Ilmu Kalam pada posisi kajiannya kemudian dianggap menjadi tumpuan pemahaman tentang sendi-sendi paling pokok dalam ajaran agama Islam, yaitu simpul-simpul kepercayaan, masalah ke-maha esaan Tuhan, dan pokok-pokok ajaran agama.
Namun di sisi lain, disiplin Ilmu Kalam dianggap memiliki sisi kontroversial mengenai isi, metodologi, maupun klaim-klaimnya di samping anggapan berkaitan secara tidak langsung dengan pembunuhan Khalifah ke-III dalam islam Khalifah Utsman bin Affan yang dikenal sebagai fitnah besar dalam islam (al-Fitnat al-Kubra).
Ibnu Taymiah pernah mengatakan bahwa Ilmu Kalam merupakan keahlian khusus kaum Mu’tazilah karena menurutnya, keahlian dengan pemikiran rasionalitas hanya dimiliki oleh mereka yang berpaham Qadariyah. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, Ilmu Kalam tidak lagi identik dengan kaum Mu’tazilah karena andil besar seorang sarjana dari kota Bashrah di Irak.
Dia adalah Abu al-Hasan al_Asy’ari. Dalam perkembangannya, Al_Asy’ari berhasil membawa dan memenagkan pemikirannya dalam pergumulan pemikiran yang kemudian paham Asy‗ariyah itu menjadi standar pemikiran Sunni dalam aqidah. Hal ini terutama ketika lahirnya Imam Al-Ghazali sebagai tonggak konsolidasi paham sunni paling akhir. Meskipun begitu, metodologi juga epistemologi Asy’ari tetap banyak dikecam oleh kaum Hanbali.
Ilmu Tasawuf (Al_Tasawwuf)
Pada awalnya, Tasawuf selalu identik dengan gerakan oposisi terhadap pemerintahan kaum Umawi di Damaskus. Mereka beroposisi dengan kaum Umawi sebab mereka beranggapan bahwa pemerintah telah lari dari keadilan dimana orang-orang Arab Syiria selalu didahulukan. Selain itu ada pula anggapan bahwa kaum Umawi kurang religius.
BACA JUGA: Beruntungnya Orang Berilmu
Adalah tokoh dari Basrah bernama Hasan yang mewakili kelompok gerakan oposisi seperti ini. Ketokohan Hasan cukup hebat, sehingga kelompok-kelompok penentang rezim Umayyah banyak yang mengambil ilham dan semangatnya, begitu pula para ulama dengan orientasi Sunni, dan orang-orang Muslim dengan kecenderungan hidup zuhud (asketik). Mereka yang terakhir inilah, yang disebut kaum Sufi (Shufi).
Konon karena pakaian mereka yang terdiri dari bahan wol dalam basa Arab (shuf) yang kasar sebagai lambang kezuhudan mereka. Dari kata ini jugalah muncul perkataan “Tasawuf”.
Sejalan dengan perkembangannya, Tasawuf tidak lagi dipandang sebagai gerakan oposisi semata, tetapi secara sadar berkembang menjadi mistisisme. Tingkat perkembangan ini dicapai sebagai hasil pematangan dan pemuncakan rasa kesalehan pribadi.
Hal ini menjadikan kutub Tassawuf menjadi khas dalam pemikiran dan bidang kajiannya. Tasawuf kemudian terkenal dengan topik kajiannya yang beriorentasi kebatinan. Berbeda dengan kaum Fiqih yang berorientasi pada lahiriah.
Di luar dari pertentangan itu, kaum sufi atau Tasawuf menagaskan bahwa kerangka interpretasi metaforis atau tafsir batiniah (ta’wil) menjadi metode pokok mereka dalam memahami teks-teks suci, baik Kitab Suci maupun Hadîts Nabi. Metode dimana pengungkapan ide dan ajaran di dalamnya sering menggunakan kata kiasan dan pelambang.
Berkaitan dengan ini, thariqah menjadi salah satu ciri khas kaum sufi. Di mana mereka memandang puncak keshalehan pribadi dapat tergambar dari pengalaman mistis yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata melainkan perasaan pribadi yang mengalaminya.
Bagi kaum Sufi, pengalaman Nabi dalam Isra’-Mi’raj itu adalah sebuah contoh puncak pengalaman ruhani yang bisa dipunyai oleh seorang Nabi. Pengalaman Nabi itulah yang berusaha ditiru oleh kaum sufi dengan olah batin yang ada pada ajaran Tasawuf. Karena itulah ajaran Tasawuf ini disebut juga sebagai ajaran akhlaq. Akhlaq yang hendak mereka wujudkan ialah tiruan akhlaq Tuhan, sesuai dengan sabda Nabi yang mereka pegang teguh, “Berakhlaklah kamu semua dengan akhlaq Allah”.
Filsafat (Al_Hikmah)
Filsafat, atau Falsafah atau Al_Hikmah merupakan disiplin ilmu tradisonal dalam islam yang paling banyak mendapat sorotan dari kalangan Muslim itu sendiri. Filsafat menjadi ilmu yang paling kontroversial di antara ilmu Fiqih, Tasawuf dan Ilmu Kalam sebab Filsafat dinilai paling sedikit dipahami tetapi paling banyak disalah artikan. Inilah penilaian yang dilontarkan oleh Nurcholis Madjid, seorang intelektual muslim dalam bukunya “Islam Doktrin dan Peradaban”.
BACA JUGA: Seorang Mualaf, Ibrahim Muteferrika Jadi Ilmuwan Muslim yang Berkontribusi pada Kesultanan Ottoman
Secara sederhana, Filsafat menggariskan bidang kajiannya pada hal-hal yang bersifat perenungan spekulatif tentang hidup dan lingkupnya seluas-luasnya. Oleh karena itu, Filsafat juga memandang perlu peranan logika serta penalaran secara penuh. Hampir sama dengan ilmu Kalam ataupun ilmu manthiq.
Meskipun begitu, filsafat merupakan disiplin keilmuan tradisional islam yang berpangkal apada ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur‘an dan Sunnah. Walau tidak bisa dipungkiri bahwa kata Arab “falsafah” dipinjam dari kata Yunani yang sangat terkenal, “philosophia”, yang berarti kecintaan kepada kebenaran (wisdom). Dengan sedikit perubahan, kata “falsafah” dalam bahasa Indonesia menjadi “filsafat”.
Penjabaran istilah filsafat di atas memberikan kejelasan bahwa disiplin ilmu keislaman satu ini, banyak mengandung unsur-unsur pemikiran Yunani meskipun tetap memiliki dasar yang kokoh dalam sumber-sumber ajaran islam. Bahkan tidak sedikit pemikir Islam yang menggunakan filsafat sebagai argument penguat dalam islam, sebut saja Jahm bin Safwan, Ibn Rusyd dalam Fash Al-Maql menjelaskan perintah Allah untuk berfilsafat. Dijelaskannya, jika syari’ah dan filsafat dipisahkan merupakan sebuah kezaliman besar.
Jadi filsafat merupakan disiplin keilmuan islam yang menaruh orientasinya pada penalaran yang argumentatif yang bersandar pada sebab-sebab dan asal usul terdalam. Dari sini, seorang filsuf islam Ibnu Sina mengatakan bahwa filsafat adalah disiplin ilmu yang otonom yang perlu ditimbah oleh manusia sebab manusia dianugrahi akal oleh Allah.
Keempat disiplin keilmuan Islam di atas mempunyai sejarah perkembangan serta bidang kajian masing-masing, sehingga mempertentangkan ke-empatnya ataupun salah satu di antaranya menjadi kurang relevan. Meskipun tidak semua penafsiran dapat menerimanya. Karena memang penolakan bahkan kecaman inipun telah terjadi sejak dulu.
BACA JUGA: Pengertian Sanad Ilmu atau Madrasah Keilmuwan
Sebut saja pertentangan antara Al_Ghazali dengan Ibnu Rusyid dalam filsafat islam, penolakan kaum Hanbali terhadap Asy’ariah yang pada akhirnya paham Asy’ariah menjadi standar sunni dalam aqidah, dan lain sebagainya.
Hakikatnya tulisan ini dibuat bukan untuk mempertentangkan tetapi mengajak pembaca untuk mendalami khasanah keilmuan Islam yang begitu luas. []