ANCHORAGE, sebuah kota terbesar di Alaska ini menjadi tempat yang banyak diminati migran muslim dari berbagai penjuru dunia ketika mereka berhijrah.
Kota yang terletak di Alaska, Amerika Serikat ini kira-kira berjarak 10 ribu kilometer dari Makkah, Arab Saudi. Namun, kota ini semakin menarik perhatian banyak muslim dari berbagai penjuru dunia.
Banyak migran muslim hijrah ke sana dan menemukan kedamaian di wilayah yang dulunya milik Rusia dan dibeli Amerika itu. Berbagai komunitas muslim terbentuk, dan kini di kota itu, warga muslim bisa menemukan toko kelontong barang-barang kebutuhan sehari-hari yang halal, restoran halal, bahkan masjid.
BACA JUGA: 4 Faktor yang Memicu Rasulullah SAW Hijrah ke Madinah
Jumlah warga muslim di Anchorage saat ini memang belum begitu besar. Jika pada 2014 tercatat ada 3.000 warga pemeluk Islam di kota itu, pada akhir 2018 jumlahnya diperkirakan hampir mencapai 4.000 orang.
Wakil Direktur Pusat Komunitas Islam Anchorage, Sam Obeidi mengatakan. komunitas muslim di Anchorage, merupakan salah satu komunitas yang paling fleksibel di AS. Menurutnya, ini karena keberagaman etnis dalam komunitas itu.
Di banyak kota lain di AS, kebanyakan masjid terkait dengan satu kelompok etnis, namun tidak demikian halnya di Anchorage. Karena kecilnya komunitas muslim, kegiatan salat Jumat, contohnya, diikuti warga dengan berbagai latar belakang etnis.
“Di sini ada orang-orang Arab, orang-orang Gambia, Pakistan, India, Myanmar, Albania, Somalia, Sudan, Mesir, Palestina, Irak, Bangladesh, Myanmar, Rusia, Malaysia, dan bahkan Indonesia,” kata Obeidi.
Islamic Community Center Anchorage Alaska—demikian masjid itu dinamakan—terletak di sebuah kawasan bisnis, dan bertetangga dengan gereja Presbiterian Korea, sejumlah bengkel mobil, dan restoran. Tidak heran, ketika berada di masjid itu, terdengar beragam bahasa. Kondisi ini sama persis seperti halnya sekolah-sekolah di Anchorage, di mana lebih dari 100 bahasa terdengar sehari-hari.
Menurut Obeidi, Anchorage menarik perhatian banyak muslim, terutama karena pertimbangan ekonomi. Ekonomi Alaska konon tidak terpengaruh resesi. Selain itu, karena program penempatan pengungsi yang digelar pemerintah. Lebih dari setengah populasi Anchorage adalah orang Eropa, sementara sisanya adalah Asia, Afrika, hispanik dan penduduk asli Alaska.
Zakia Chowdhury, warga Anchorage asal Bangladesh mengaku senang hidup sebagai muslim di sana.
“Apapun yang kami lakukan di sana, kami lakukan juga di sini. Kami makan sahur, kami juga berbuka puasa. Kami berpuasa seharian, dan kami melewatkan waktu bersama komunitas, seperti yang kami juga lakukan di kampung halaman. Satu-satunya yang tidak kami temukan di sini adalah suasan seperti di Bangladesh, di mana banyak muslim di lingkungan sekitar kami,” kata Chowdurry.
Obeidi tidak menyarankan warga muslim hijrah begitu saja ke Anchorage. Ia mengingatkan, biaya hidup di Anchorage luar biasa tinggi. Ia menyarankan, mereka yang ingin hijrah ke sana sebaiknya menemukan pekerjaan terlebih dahulu dan memiliki kerabat yang bisa membantu mereka menjalani hidup hingga mencapai kemapanan.
Menurut Obeidi. karena letaknya yang jauh, dan terbatasnya sarana transportasi, biaya hidup masyarakat Alaska, khususnya untuk bahan-bahan kebutuhan pokok, adalah yang tertinggi di Amerika. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Amerika telah berusaha menurunkan harga barang, khususnya di Anchorage dan Fairbanks.
BACA JUGA: Kerinduan Para Sahabat terhadap Kota Mekah ketika Hijrah
Namun, yang menguntungkan, menurut Obeidi, Alaska adalah negara bagian dengan pajak individu paling ringan di Amerika. Alaska adalah satu dari 6 negara bagian tanpa pajak penjualan barang, dan satu dari 7 negara bagian yang tidak menarik pajak pendapatan perorangan.
Yang juga perlu dipertimbangkan adalah iklim di Alaska. Musim dingin di sana sangat panjang, serta panjang siang dan malam hari sangat berbeda dengan negara-negara bagain lain di AS. Walhasil, itu mempengaruhi kegiatan beribadah muslim, khususnya sewaktu bulan Ramadhan.
“Pada musim panas, lamanya siang hari di sini bisa mencapai 21 jam. Pada bulan Desember, siang hari bisa jadi tiga jam saja. Kami diberitahu para ulama untuk mengikuti zona standar. Kami mengikuti waktu Makkah, tempat paling suci bagi kami. Kami berpuasa mulai dari pukul 4 pagi hingga menjelang pukul 7 malam. Kami berbuka puasa, dan melalukan ibadah rutin. Kami sholat lima waktu, sama seperti yang dilakukan orang lain,” kata Ataur Chowdhury, seorang warga muslim. []
SUMBER: VOA INDONESIA