SAAT itu, Harun al-Rasyid berusia 23 tahun ketika duduk di takhta agung abbasiyyah, pada malam 15 September 786 M.
Menurut legenda, rembulan tampak melengkung seperti sebuah sabit di atas Istana al-Khuld atau Istana Keabadian. Sebuah bintang berada di pusat lengkungannya, seperti dalam bendera perang Muslim pada kemudian hari.
BACA JUGA: Khalifah Umar Menangis Melihat Kehidupan Gubernur Syam Abu Ubaidah
Keesokan paginya, pemimpin kelahiran 17 Maret 763 M itu berangkat dari pinggiran Kota Isabadh dan secara resmi memasuki ibu kota Kerajaan Baghdad, didahului oleh pengawal istananya. Beberapa legiun tentara mengiringi. Senjata dan baju zirah mereka berkilauan ditimpa sinar mentari.
Benson Bobrick dalam The Caliph’s Splendor: Islam and the West in the Golden Age of Baghdad mengilustrasikan, di antara para prajurit bersenjata lengkap itu, ada sepasukan tentara suci yang dikenal sebagai Anshar atau tentara Madinah. ‘Para pembela’ yang pertama kali direkrut ayahnya, Khalifah Mahdi.
“Tepi Sungai Tigris dipadati kerumunan orang yang berharap. Ribuan orang juga berbaris di jembatan besar perahu-perahu yang akan dilintasi sang khalifah. Karena itu, hari Jumat, Harun akan mengimami shalat Jumat,” tulis Bobrick.
Armada sampan dan tongkang yang penuh penonton benar-benar membuat macet sungai. Para pedagang serta bangsawan berdiri di atas panggung rumah-rumah berteras yang menghadap dermaga.
Di antara mereka, jubah hitam, serban hitam, dan bendera hitam Abbasiyah tampak mencolok seperti pulasan celak di wajah kota yang diputihkan mentari, berkilauan seperti batu oniks hitam ditimpa sinar matahari. Dari atap dan jendela, kaum perempuan meneriakkan nyanyian kegembiraan bernada tinggi.
Iringan-iringan kerajaan berjalan perlahan. Pasukan pengawal istana Harun mengenakan seragam yang sangat bagus. Di tengah-tengah mereka, Harun sendiri menunggang kuda dengan baju zirah lengkap. Tubuhnya tegap dan gagah di atas kuda perang putih yang dihias dengan luar biasa.
Disandangkan di bahunya, dengan gaya Islam, adalah Dzul Faqar yang masyhur, sebuah pedang bermata dua yang dirampas dalam Perang Badar pada 624 M. Pernah digunakan Nabi sendiri dan diberikan pada menantunya, Ali. Konon, ia memiliki kekuatan ajaib dan berukirkan kata-kata la yuqtal Muslim bi al-kafir yang artinya “seorang Muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir”.
Siangnya, Harun mengimami shalat di masjid agung kota dan kemudian duduk di hadapan publik di halaman. Para tokoh terkemuka dan orang-orang kebanyakan dipanggil menghadapnya untuk mengucapkan sumpah setia dan menyatakan kegembiraan mereka atas penobatannya.
Pada hari berikutnya, dalam resepsi dan sidang resmi istana, khalifah yang baru menunjuk Yahya al-Barmak menjadi wazirnya dan memberinya mandat penuh. Ketika memberikan stempel kerajaan padanya, Harun menyebutnya dengan penuh penghormatan sebagai ‘ayahnya’ sembari berkata, “Ayahku, aku berutang kedudukanku ini pada kebijaksanaanmu. Aku serahkan padamu tanggung jawab atas kesejahteraan rakyatku.”
“Aku ambil tanggung jawab ini dari pundakku dan meletakkannya di pundakmu. Memerintahlah dengan cara yang kau anggap terbaik, angkatlah siapa pun yang kau inginkan dan berhentikan siapa pun yang kau kehendaki.”
Kematian khalifah sebelumnya sekaligus saudaranya, Hadi, yang jelas-jelas karena pembunuhan hari itu hanya diketahui sedikit orang dan sama sekali tidak mengurangi kemeriahan dan suasana pesta. Pun laporan mengenai pembunuhan Hadi pada kemudian hari tidak menodai kedudukan Harun yang tinggi di mata generasi berikutnya.
BACA JUGA: Ketika Khalifah Harun Ar-Rasyid Bertemu Imam Malik
Sebagai seorang pengkaji sejarah, Harun sendiri memandang kenaikan dirinya sebagai sebuah contoh keagungan yang telah ditakdirkan. Hal ini diperkuat oleh pengetahuannya tentang Islam dan kebangkitannya yang tampak tidak mungkin.
Seiring dia menyelisik wilayah yang diwarisinya, di bawah bimbingan sekelompok guru terpilih, dia menyerap kisahnya nan agung dan kejayaan serta kekuasaan kini ada dalam genggamannya. []
SUMBER: MOZAIK REPUBLIKA