KHIYAR dalam transaksi atau akad jual beli hak yang dimiliki seseorang yang melakukan perjanjian usaha (jual-beli) untuk menentukan pilihan antara meneruskan perjanjian jual-beli atau membatalkannya. Pada tulisan sebelumnya dijelaskan tentang khiyar majlis dan khiyar syarat.
Terdapat jenis khiyar lain selain khiyar majlis dan khiyar syarat, yakni khiyar ‘aib.
Yang dimaksud dengan khiyar ‘aib adalah; hak untuk memilih antara membatalkan atau meneruskan akad jual beli apabila ditemukan kecacatan (aib) pada obyek (barang) yang diperjualbelikan, sedang pembeli tidak mengetahui adanya kecacatan pada saat akad berlangsung.
Dengan kata lain, jika seseorang membeli barang yang mengandung kecacatan dan ia tidak mengetahuinya hingga si penjual dan si pembeli berpisah, maka pihak pembeli berhak mengembalikan barang dagangan tersebut kepada penjualnya, dengan meminta ganti barang yang baik atau meminta kembali uangnya, atau sesuai dengan perbandingan kerusakan dan harganya.
BACA JUGA: Syarat Sah Jual Beli Menurut Imam Madzhab
Dalam khiyar ‘aib, pembeli memiliki dua pilihan (hak khiyar) apakah ia rela dan puas terhadap barang yang dibelinya ataukah tidak. Jika pembeli rela dan merasa puas dengan kecacatan yang ada pada barang, maka khiyar tidak berlaku baginya dan ia harus menerima barang yang telah dibelinya tersebut. Namun jika ia menolak dan mengembalikan barang kepada pemiliknya, maka akad tersebut menjadi batal. Konsekwensinya, bagi penjual harus menerima pengembalian barang tersebut jika kecacatannya murni dari pihak penjual (cacat bawaan) dan bukan karena kelalaian ata kesalahan pembeli seperti akibat terjatuh dan lainnya.
Dalam hal mengembalikan barang yang cacat tersebut, pihak pembeli hendaknya mengembalikannya dengan segera tanpa menunda-nunda. Karena menunda-nunda waktu pengembalian – terlebih lagi dalam waktu yang cukup lama – merupakan salah satu bentuk melalaikan tanggung jawab, sehingga ia dapat dianggap rela terhadap barang yang cacat, kecuali karena ada halangan yang dapat dibenarkan dan dimaklumi bersama.
Dasar Hukum Disyariatkan Khiyar ‘Aib
Dasar hukum disyari’atkannya khiyar aib dapat dijumpai penjelasannya dalam berbagai hadis Nabi saw, antara lain hadis yang diriwayatkan oleh imam Ahmad, Ibnu Majah, ad-Daruqutni, al-Hakim dan at-Thabrani dari Uqbah bin Amir ra.:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ بَاعَ مِنْ أَخِيهِ بَيْعًا فِيهِ عَيْبٌ إِلاَّ بَيَّنَهُ لَهُ (رواه أحمد وابن ماجة وغيره)
“Bahwasanya Nabi saw bersabda: Muslim yang satu dengan Muslim lainnya adalah bersaudara, tidak halal bagi seorang muslim menjual barangnya kepada muslim lain, padahal pada barang tersebut terdapat aib/cacat melainkan dia harus menjelaskannya”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Al-Hakim dan Ath-Thabrani)
Faktor-Faktor yang Menghalangi Pembatalan Akad dan Pengembalian Barang
Ketentuan dalam pembatalan akad dan pengembalian barang cacat telah banyak dirumuskan dalam kitab-kitab fikih, termasuk faktor-faktor yang menghalangi pembatalan akad dan pengembalian barang. Dalam pembahasana ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pertama: Pihak pembeli ridha setelah mengetahui adanya kecacatan barang, baik dengan mengucapkkannya secara langsung atau berdasarkan petunjuk/indikator lainnya. Misalnya; membeli buah yang sudah diumumkan atau diberitahukan kecacatannya oleh pihak penjual seperti sudah layu atau sebagiannya ada yang rusak, lalu pembeli rela/ridha membelinya setelah terjadi penyesuaian harga, maka pembatalan dan pengembalian barang tidak dapat dilakukan (tidak ada hak khiyar ‘aib).
Kedua: Menggugurkan Khiyar, baik secara langsung atau adanya indikator/petunjuk lainnya. Seperti ucapan seorang pembeli, “Aku telah menggugurkan khiyar (hak pilih) ku”, atau setelah ia mengetahui adanya kecacatan barang, si pembeli tidak mengembalikan barang tersebut dalam jangka waktu yang cukup lama atau bahkan barang yang dibelinya sudah berubah wujud atau habis karena telah dikonsumsi.
Ketiga: Barang rusak karena perbuatan pembeli atau berubah dari bentuk aslinya. Seperti gelas pecah atau retak karena terjatuh oleh pihhak pembeli, atau sebagian barang ada yang tidak utuh atau hilang akibat kelalaian pembeli.
Namun apabila pembeli dan penjual berselisih tentang pihak yang menyebabkan terjadinya kecacatan barang, sementara transaksi sudah selesai dilakukan serta tidak ada bukti yang menguatkan salah satunya, maka menurut para ulama’ pernyataan penjuallah yang dimenangkan atau yang diterima setelah disumpah. Hal ini didasarkan pada hadis Nabi saw:
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:إِذَا اخْتَلَفَ الْبَيِّعَانِ فَالْقَوْلُ قَوْلُ الْبَائِعِ وَالْمُبْتَاعُ بِالْخِيَارِ. – رواه الترميذي و أحمد
“Dari Ibnu Mas’ud ra berkata; Rasulullah saw bersabda: Apabila penjual dan pembeli berselisih maka perkataan yang diterima adalah perkataan penjual, sedangkan pembeli memiliki hak pilih “. (HR. At-Tirmidzi dan Ahmad) (imam at-Tirmidzi menjelaskan bahwa hadis ini termasuk hadis mursal karena salah seorang rawi bernama ‘Aun bin Abdillah tidak bertemu langsung dengan Ibnu Mas’ud, namun Al-Albani menshahihkannya)
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ فِى خُطْبَتِهِ الْبَيِّنَةُ عَلَى الْمُدَّعِى وَالْيَمِينُ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ. – رواه الترميذي
“Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya dari kakeknya; bahwasanya Nabi saw bersabda dalam khutbahnya: mendatangkan bukti (al-Bayyinah) bagi pengklaim/penuduh dan harus bersumpah bagi yang tertuduh”. (HR. at-Tirmidzi) (hadis ini dikuatkan dari berbagai sumber yang kuat baik dengan lafaz yang hampir sama maupun dengan lafaz yang berbeda).
BACA JUGA: Hukum Iqalah dalam Jual Beli
Hikmah Disyari’atkan Khiyar
Hikmah disyariatkannya khiyar (hak untuk memilih) dalam Islam sangat banyak sekali dan bersifat menyeluruh dan jangka panjang. Bahkan khiyar dalam bisnis Islami memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk menjaga kepentingan, transparansi, kemaslahatan, kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi serta melindungi mereka dari bahaya dan kerugian bagi semua pihak.
Secara leih rinci dapat dikemukakan beberapa hikmah disyari’atkan khiyar dalam Islam, antara lain:
(1) Dapat mempertegas adanya kerelaan dari pihak-pihak yang terikat dalam transaksi jual beli,
(2) mendatangkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak (penjual dan pembeli),
(3) menghindarkan terjadinya penipuan dalam urusan jual beli,
(4) Menjamin kejujuran dan transparansi bagi pihak penjual dan pembeli,
(5) Menjamin kesempurnaan proses transaksi,
(6) untuk menjaga agar tidak terjadi perselisihan atau pertengkaran antara penjual dan pembeli, dan lain-lain. []
SUMBER: TUNTUNAN ISLAM