SALAH satu adab yang harus ditanamkan kepada para peserta didik adalah sifat mujahadah fi thalabil ‘ilmi atau bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Sifat inilah yang menjadi kunci kesuksesan para ulama terdahulu. Kebiasaan membaca buku, menulis, menghafal dan berdiskusi sudah menjadi santapan mereka sehari-hari.
Namun, sangat disayangkan, para penuntut ilmu di zaman sekarang seakan lupa bahwa ilmu hanya bisa didapat dengan pengorbanan. Hari ini, kebanyakan mereka terjebak dalam berbagai hal yang melalaikan. Tujuan utama menuntut ilmu untuk mendapat hikmah dan faidah sebanyak mungkin, justru tersingkirkan karena terlalu larut dalam keasyikan dan kesenangan.
Apalagi di zaman internet, media sosial dan game online seperti saat ini yang bisa membuat seseorang lupa waktu. Padahal keasyikan bermain gadget bisa membunuh rasa sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan menimbulkan toxic dopamine.
Menurut keterangan para ahli, dopamine adalah sebuah senyawa kimiawi yang ada di otak. Senyawa ini berperan memengaruhi emosi, rasa senang, motivasi dan rasa sakit. Kadarnya bisa naik dan bisa turun. Oleh sebagian peneliti, dopamine disebut sebagai happy hormone (hormon yang memunculkan rasa bahagia).
Jika seseorang melakukan kegiatan yang menyenangkan, senyawa dopamine bisa meningkat. Salah satu contoh kegiatan yang menyenangkan adalah bermain game, sosial media, mengonsumsi makanan favorit, berselancar di dunia maya, menonton video, film, dan sebagainya.
Dopamine atau hormon kebahagiaan ini jika dilepaskan dalam jumlah besar, akan menyebabkan ketergantungan dan kecanduan (addict) seperti kasus kecanduan menggunakan zat adiktif lainnya.
Contohnya seperti bermain gadget.
Bermain gadget secara terus-menerus ternyata dapat meningkatkan produksi senyawa Dopamine secara berlebihan. Rasa senang dan nyaman bergawai ria akan menyebabkan kecanduan.
Para penuntut ilmu harus tahu, bahwa aplikasi sosial media seperti Facebook memang dikonsep menggunakan algoritma dan fitur untuk membangkitkan senyawa dopamine pada diri penggunanya.
“Facebook will continue to do everything they can to keep your eyes glued to the screen as often as possible.”
(Facebook akan terus berusaha melakukan apa pun agar mata kalian selalu melekat pada layar gadget sesering mungkin).
Demikian tulis Trevor Haynes, seorang peneliti di Departemen Neurologi di Harvard Medical School.
Inilah alasan kenapa seseorang sangat betah bermain game atau bermedia sosial hingga tidak terasa ternyata telah menghabiskan waktu selama berjam-jam.
Tetapi, ketika tiba saatnya membaca buku, walau baru sepuluh menit, rasa suntuk dan bosan langsung datang menyerang. Itulah akibat apabila seseorang selalu membanjiri otaknya dengan dopamine.
Singkat kata, dopamine adalah zat yang harus dikontrol. Jika tidak, ia akan menjadi toxic (dopamine toxicity) alias racun yang mempunyai daya rusak terhadap otak.
Selain itu, secara kaidah, dopamine seharusnya muncul apabila seseorang benar-benar merasakan kebahagiaan yang nyata. Misalnya seperti berhasil meraih cita-cita, mendapat rezeki yang melimpah, memperoleh beasiswa ke luar negeri, berjodoh dengan sosok yang diidamkan, dan sebagainya.
Namun, kebanyakan orang hari ini bagai penikmat ekstasi, mencari kepuasaan dan kesenangan pada hal-hal yang semu. Contohnya seperti mendapat like dan komentar di akun sosial media sosial semacam Facebook dan Instagram, terhibur dengan video-video lucu, atau sekadar menang game online yang tidak berhadiah apa-apa, karena merasa itu permainan yang seru, hati seseorang langsung berbunga-bunga. Padahal semua itu adalah reward palsu.
Nah, apabila seorang penuntut ilmu merasakan hal yang demikian, berarti otaknya harus diistirahatkan. Maksud “diistirahatkan” di sini bukan berarti tidak difungsikan sama sekali. Akan tetapi justru otak itu diberhentikan untuk sementara waktu dari memproduksi dopamine semu.
BACA JUGA: Ilmu Pengetahuan Nabi Adam
Tujuan utamanya adalah mengatur ulang definisi kebahagian dan kesenangan. Sehingga fungsi otak kembali berjalan dengan normal.
Adalah masalah jika seorang penuntut ilmu kecanduan konten-konten dan fitur-fitur seperti yang sudah dijelaskan di atas. Karena seorang pelajar, baik itu santri di pesantren atau siswa di sekolah umum, seharusnya kecanduan buku. Bukan malah ketagihan game online, berita gosip, lawakan receh dan tayangan yang tidak mendidik dan sebagainya.
Sekali lagi perlu dipertegas, bahwa dalam konteks thalabul ‘ilmi, jika toxic dopamine tidak segera diatasi, virus malas akan semakin mengakar. Atmosfer keilmuan akan hilang. Kultur akademik akan punah. Budaya literasi akan mati. Akibatnya, generasi yang akan datang semakin terjebak dalam kebingungan (confuse). []
SUMBER: DAKWAH.ID