Oleh: Dita Fauziah
Mahasiswi STEI SEBI
DALAM menjalani suatu kegiatan bisnis, seorang pelaku usaha penting untuk mengetahui apa saja ketentuan diperbolehkannya melakukan transaksi ekonomi dengan orang lain. Hal tersebut dilakukan agar pihak yang melakukan transaksi berlaku adil dan sama-sama tidak dirugikan. Karena prinsip keadilan merupakan salah satu adab atau akhlak islami dalam bermuamalah.
Dalam konsultasi syariah yang disampaikan oleh Ustadz Oni Sahroni di salah satu portal berita harian, ada tiga parameter untuk mengukur apakah suatu produk sudah sesuai dengan syariah atau belum, salah satunya adalah terbebas dari transaksi yang dilarang dalam Islam.
BACA JUGA: Logika Jual Beli Imam Abu Hanifah vs Kita
Transaksi yang dilarang dalam Islam ini memiliki tujuan yakni untuk menghindari kezaliman dan kerugian yang akan ditimbulkan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya. Secara sederhana untuk memudahkan mengingatnya, transaksi ini disingkat menjadi “MAGRIB”, yaitu Maisir, Gharar, dan Riba. Berikut beberapa contoh dan penjelasan terkait transaksi tersebut:
• Maisir
Maisir adalah suatu kegiatan atau kondisi yang menempatkan salah satu pihak harus menanggung beban pihak lain. Secara sederhana, maisir ini merupakan transaksi taruhan atau judi.
Transaksi maisir dilarang dalam Islam sebab akan membuat seseorang malas dan hanya berharap menang taruhan, menimbulkan spekulasi serta permusuhan antar sesama. Transaksi maisir tidak terbatas hanya pada judi, tetapi juga bisa terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu contohnya adalah undian doorprize dalam perlombaan hari kemerdekaan.
Untuk menghindari terjadinya maisir dalam kegiatan tersebut, maka panitia membeli hadiah bukan dari dana partisipasi para peserta, melainkan dari sponsorship yang tidak ikut bertanding memperebutkan hadiah.
Dengan begitu, tidak ada pihak yang merasa dirugikan ketika ada pihak lain yang memenangkan doorprize dan juga transaksi tersebut menjadi halal.
• Gharar
Gharar bisa diartikan sebagai ketidak-jelasan objek transaksi baik dalam kualitas, kuantitas, harga maupun waktu penyerahan barang, sehingga nantinya akan ada salah satu pihak yang dirugikan.
Gharar dilarang dalam Islam sebab mengubah transaksi yang pasti menjadi tidak pasti atau tidak jelas. Setiap transaksi seharusnya didasari dengan saling ridho antara pihak penjual dan pembeli. Tidak boleh ada yang terzalimi diantara salah satu pihak.
BACA JUGA: Uang Muka, Larangan dalam Jual Beli?
Contoh praktik gharar yang masih ada di lingkungan masyarakat adalah membeli rambutan satu pohon dengan harga tertentu. Dalam transaksi tersebut, ada ketidak-jelasan dalam kuantitas dan kualitas rambutan yang akan dibeli. Bisa jadi di saat pembeli memetiknya, rambutan tersebut banyak yang busuk atau belum matang, sehingga jumlah rambutan yang bisa dipetik sangat sedikit sekali. Transaksi ini tentunya merugikan pembeli, maka dari itu pentingnya menghindari transaksi-transaksi gharar.
• Riba
Allah telah jelas menegaskan bahwa riba dilarang dalam Islam, sebagaimana yang tertera dalam nash Al-Qur’an dan Hadits. Tentunya pelarangan riba ini memiliki tujuan, yaitu untuk menjauhkan diri dari mengambil hak orang lain secara tidak halal dan juga menghindari sifat malas seseorang yang hanya menginginkan keuntungan dari orang lain.
Praktik riba beragam jenisnya, namun salah satu contoh yang masih ada di kalangan masyarakat ialah riba nasi’ah. Riba nasi’ah ini bisa ditemukan dalam praktik perbankan konvensional, dimana adanya pembayaran bunga dalam transaksi bisnis.
Contoh ilustrasinya adalah ketika bank mensyaratkan pembayaran bunga tetap kepada nasabah peminjam dana. Seorang nasabah yang meminjam dana ini kemudian membuka usaha perdagangan dari uang yang dipinjamnya. Normalnya didalam bisnis, keuntungan pedagang tidak bersifat tetap, akan ada kondisi atau kemungkinan dimana pedagang rugi, impas atau untung.
Ketika nasabah yang meminjam dana mengalami keuntungan dalam perdagangannya mungkin ia mampu untuk membayar bunga yang disyaratkan bank. Akan tetapi ketika ia mengalami impas atau rugi dalam usahanya, belum tentu ia bisa membayar bunga tersebut.
Praktik riba mengeksploitasi peminjam dana dengan meminta bunga atas pinjaman yang diberikan. Bunga ini bersifat wajib untuk dibayarkan karena telah disepakati di awal transaksi. Dan nantinya bunga tersebut akan dibagikan kepada nasabah yang menabungkan uangnya di bank.
Memberi pinjaman uang kepada seseorang adalah transaksi kebaikan (tabarru’), dan dalam Islam transaksi yang semula diniatkan untuk kebaikan tidak boleh berubah menjadi transaksi bisnis (meminta kompensasi).
Semoga artikel ini dapat memberikan sedikit informasi kepada pembaca untuk bersama-sama kita menghindari transaksi-transaksi yang dilarang dalam Islam. []
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: redaksi@islampos.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.