Oleh: Mohamad Mufid, M.Pd.I
Ketua IKADI Kota Prabumulih
mohamadmufid1985@gmail.com
SETELAH kalah dalam perang Badar, pasukan kafir Quraisy Makkah kembali menyusun strategi untuk menyerang Kaum Muslimin secara besar-besaran. Perang Uhud terjadi pada tahun ke-3 Hijriyyah. Dinamakan perang Uhud karena perang ini terjadi di bukti Uhud yang berjarak kurang lebih tiga mil dari Kota Madinah.
Pihak kaum kafir dipimpin langsung Abu Sufyan dengan jumlah 3000 pasukan yang tergabung dari suku Quraisy dan suku-suku lain yang telah mengadakan janji setia dengan mereka serta orang-orang Ahbasy dari suku-suku Arab pedesaan. Sementara di pihak Kaum Muslimin, peperangan dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW yang berjumlah 1000 para mujahid atau hanya sepertiga dari pasukan kafir.
Pada awal keberangkan, tepatnya ketika pasukan kaum Muslimin bergerak sampai di antara Madinah dan Uhud, salah seorang pemimpin kaum munafiq Abdullah bin Ubay yang tergabung dalam barisan Rasulullah memisahkan diri bersama hampir sepertiga jumlah laskar. Melihat kondisi ini, seorang sahabat bernama Abdullah bin Amr bin Haram, mengikuti mereka sambil membujuk agar kembali ke barisan: “Marilah berperang di jalan Allah atau belalah agama Allah!” Mereka menjawab: “Kalau kami tahu kamu akan berperang, kami tidak mau kembali.”
BACA JUGA: Keberanian Wahab bin Qabus di Perang Uhud
Dengan mundurnya kaum munafiq pada barisan Rasulullah ini, maka secara otomatis jumlah pasukan semakin tidak seimbang. Namun karena tekad sudah bulat berperang di jalan Allah, pantang bagi Rasul dan pasukannya untuk mundur dari peperangan.
Kebanggan Pasukan Pemanah
Ketika genderang perang dimulai, Rasulullah menempatkan pasukan pemanah di atas bukit belakang Rasulullah dan bertugas melindungi pasukan tersebut dari serangan pasukan kaum musyrikin yang kemungkinan bisa muncul dari belakang. Rasul menunjuk satu detasemen khusus yang terdiri dari pemanah ulung di bawah komando Abdullah bin Jubair bin An-Nu’man Al-Anshari Al-Ausi. Beliau memerintahkan agar mereka menempati posisi di atas bukit, sebelah selatan Wadi Qanat yang dikemudian hari dikenal dengan nama Jabal Rumat, posisi tepatnya kira-kira 150 meter dari posisi kaum Muslimin.
Dengan sorot mata yang tajam, Rasulullah berwasiat kepada pasukan detasemen pemanah ‘Lindungilah punggung kami. Jika kalian melihat kami sedang bertempur, maka kalian tidak perlu membantu kami. Jika kalian melihat kami telah mengumpulkan harta rampasan, maka janganlah kalian turun bergabung bersama.’ (Syaikh Shafiyurrahman, 2010:229).
Api peperangan pun berkobar. Kilatan pedang siap menyambar batang leher, ratusan anak panah meleset keluar dari busurnya. Kaum muslimin dengan gagah berani menyerang maju ke tengah medan pertempuran. Sementara kaum musyrikin lari terbirit-birit meninggalkan medan perang penuh ketakutan.
Di tengah kabar gembira kemenangan itu, terjadilah perselisihan antar sesama detasemen khusus pemanah mengenai harta ghanimah. Ketika Rasul melihat pasukan pemanah turun dan mengambil harta ghonimah, Rasul berkata: ‘Bukankah sudah saya perintahkan kepada kalian agar tidak meninggalkan posisi sampai ada perintah saya?’ Mereka menjawab: ‘masih ada beberapa teman di sana’. Nabi pun berkata: ‘Sebenarnya kalian mengira kami melakukan ghulul dan tidak memberikan harta rampasan perang.’
Pemimpin detasemen pemanah Abdullah bin Jubair juga berteriak dan mengingatkan, ‘Apakah kalian sudah lupa apa yang diwasiatkan Rasul kepada kalian?’ Pasukan pemanah yang turun berkata: “Demi Allah kami benar-benar akan bergabung dengan mereka agar kita mendapatkan bagian dari harta rampasan perang.” Saat itu tercatat ada sekitar 40 pasukan pemanah yang meninggalkan pos utama. Hanya Ibnu Jubair selaku komandan pasukan pemanah beserta sembilan rekannya yang tetap bertahan.
Serangan Balik Kaum Kafir
Sementara itu, pasukan pemanah mengira bahwa kaum musyrikin tidak akan kembali lagi, sehingga mereka pun terlena dan turun pergi mencari harta ghanimah dan mengosongkan pos yang ada di antara dua anak Bukit Uhud. Melihat kondisi ini, Khalid bin Walid (salah seorang pemimpin Kafir sebelum masuk Islam), segera mengatur strategi. Dengan gagah berani dia kembali ke medan pertempuran bersama pasukan berkuda dan menyerang pasukan Kaum Muslimin. Pasukan pemanah dan barisan kaum Muslimin pun kaget bukan kepalang. Saat itu juga barisannya kocar-kacir, kalang kabut, bingung dan goncang karena serangan yang begitu sengit, mendadak dan tidak diperkirakan sebelumnya.
Keadaan pun berbalik, cahaya kemenangan yang mulai nampak pada pasukan Kaum Muslimin kini redup kembali. Kekalahan pun dirasa, luka jasmani dan pahitnya kekalahan mereka teguk dengan begitu berat. Akhirnya perang Uhud berakhir dan kemenangan berpihak pada kaum Kafir.
Sayyid Quthb dalam tafisrnya Tafsir fi Zhilalil Qur’an melukiskan bagaimana kondisi Kaum Muslimin begitu menyedihkan. Banyak pejuang Islam yang terluka, terbunuh dan mati syahid. Tidak terkecuali Baginda Rasulullah SAW. Beliau yang waktu itu hanya dilindungi oleh beberapa orang, hampir saja terbunuh. Namun berkat kesigapan prajurit muslim, walau hanya beberapa orang saja, beliau masih bisa diselamatkan.
Rasulullah sendiri terluka di wajahnya, gigi depan bagian bawahnya patah, dan topi bajanya melukai kepala beliau. Orang-orang musyrik melempari beliau dengan batu hingga beliau jatuh dan terperosok ke dalam sebuah lubang dari lubang-lubang yang digali oleh Abu Amir al Fasik yang kemudian ditutupnya kembali guna menjebak kaum Muslimin. Dua buah lingkaran topi perang beliau melukai pipi beliau (Sayyid Quthb, 2001: 220).
Keadaan kini berbalik 180 derajat. Kaum Muslimin harus menelan pil pahit atas kekalahan itu. Kaum kafir mengira Rasulullah telah wafat sehingga mereka meninggalkan pertempuran dan pulang dengan perasaan sombong.
Rasulullah dan para sahabatnya yang masih tersisa memeriksa jasad dan tubuh para syuhada yang gugur. Sejenak beliau berhenti dan menyaksikan para jenazah satu per satu yang bergelimpangan darah berlumuran darah. Tidak terasa air mata menetes di kedua belah pipinya.
Hal yang sangat menyakitkan dan menyesakkan dada ketika Rasul melihat kondisi jasad pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib yang tercabik-cabik. Dadanya terbelah dan isi perut berhamburan. Bagian tubuh hati Hamzah dimakan dan dikunyah mentah-mentah oleh Hindun binti Utbah yang sudah lama menaruh dendam padanya. Air mata Rasul kembali menetes bercucuran membahasi pipi yang berlumuran darah.
Perasaan Rasul begitu terpukul. Tidak sedikitpun terlintas di benak beliau bahwa moral bangsa arab telah merosot sedemikian rupa, hingga dengan teganya berbuat keji dan kejam terhadap jasad Hamzah.
Hamzah bin Abdul Muthalib adalah seorang yang menghabiskan waktu dan tenaganya untuk membela Islam. Beliau adalah mujahid pemberani dan mahir dalam perang menggempur jantung pertahanan musuh. Keberanian paman Rasul ini bak singa jantan yang menerkam mangsa, mengamuk, menumbangkan setiap lawan tanpa hambatan. Para musuh pun kocar-kacir bak daun-daun kering diterpa angin.
Namun di tengah sibuk menumpas kaum kafir, tanpa ia sadari tiba-tiba sebuah tombak tajam milik Wahsyi bin Harb (budak suruhan Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan bin Harb) telah lama mengintainya, hingga menusuk dan merobek perutnya. Ia gugur sebagai syahid.
Hikmah Perang Uhud
Beberapa hikmah yang dapat diambil dari peristiwa kalahnya pasukan kaum muslimin antara lain. Pertama, perbuatan maksiat dan kedurhakaan akan berakibat buruk. Kita dapat mengambil pelajaran dari peristiwa pasukan pemanah yang menyimpang dan mentaati perintah Rasulullah saw. Pasukan pemanah saja yang niatnya begitu bulat di jalan Allah, ketika melakukan satu kesalahan saja, Allah secara langsung kontan memberikan pelajaran berupa kematian.
BACA JUGA: Abu Sufyan Menyangka Rasulullah Wafat di Perang Uhud
Bagaimanakah dengan kita yang setiap hari berbuat maksiat dan mendurhakai perintah Allah dan Rasulnya, selalu merasa tenang dan nyaman saja? Mengapa kita tidak belajar dari peristiwa yang menimpa datasemen pemanah tersebut?
Kedua, dengan ditundanya kemenangan pada sebagian pertempuran adalah sebagai jalan untuk meruntuhkan kesombongan diri. Maka ketika kaum mukminin diuji, lalu mereka sabar, tersentaklah orang-orang munafiqin dalam keadaan ketakutan.
Ketiga, Rasul manusia yang paling agung di muka bumi, tubuhnya masih bisa tersayat pedang, giginya bisa rontok dan tubuhnya berlumuran darah. Artinya Rasul sendiri tidak memiliki semacam ilmu kebal. Apalagi mengajarkan umatnya untuk belajar ilmu kekebalan tubuh. Demikian mudah-mudahan kita dapat memetik hikmah Kisah Perang Uhud ini. Wallahu a’lam.