Oleh: Nur khofifah
Mahasiswi STEI SEBI Depok
INDONESIA telah masyhur sebagai negara dengan jumlah penganut agama Islam terbesar di dunia. Di dalamnya pun tumbuh beberapa ormas keagamaan yang telah dianut sebagian besar masyarakat Indonesia.
Dampak yang terjadi adalah banyak terjadi perbedaan pendapat di kalangan masyarakat. Seperti yang marak terjadi di banyak masjid tentang hukum ‘mengeraskan(jahr) suara saat dzikir setelah sholat’.
BACA JUGA: Bolehnya Berdzikir dengan Biji Tasbih dan Bantahan terhadap yang Membid’ahkannya (1)
Lantas, apakah hukum melakukannya? Dilarang atau diperbolehkan?
Pendapat pertama
Pendapat dari Syeikh Muhammad Nashirudin Al-Albani, dalam bukunya Majmu’ Fatawa Al-Madinah Al-Munawwarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani.
Sebagaimana hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari, dia menceritakan tentang perjalanan para sahabat bersam Rasulullah Shallallalluhu ‘alaihi wasallam. Abu Musa berkata:
“Jika kami menuruni lembah maka kami bertasbih, dan jika kami menaiki bukit yang tinggi maka kami bertakbir, dan kami pun mengeraskan suara-suara dzikir kami. Maka berkata Rasulullah Shallallalluhu ‘alaihi wasallam:
يَاأَيُّهَاالنَّاسُ اِرْبَعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّ مَنْ تَدْعُوْنَهُ لَيْسَ بأَصَمَّ وَلاَغَائِبٍ إِنَّمَا تَدْعُوْنَ سَمِيْعًا بَصِيْرًا إِنَّمَا تَدْعُوْنَ مَنْ هُوَ أَقْرَبُ إِلَى أَحَدِ كُمْ مِنْ غُنُقِ رَا حِلَتِهِ إِلَيْهِ
“Artinya : Wahai sekalian manusia, berlaku baiklah terhadap kalian sendiri. Sesungguhnya yang kalian seru itu tidak tuli dan tidak pula ghoib. Sesungguhnya kalian berdoa kepada yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat, yang lebih dekat daripada leher tungangan kalian sendiri. ”(H. R. Bukhari dan Muslim)
Kejadian ini terjadi ditengah padang pasir yang tidak mungkin mengganggu siapapun. Lalu bagaimana pendapat, jika mengeraskan suara dzikir didalam masjid yang tentu mengganggu para jamaah yang masbuq dan sedang membaca Al-Quran, dan lain-lain. Jadi dengan alasan mengganggu inilah suara dzikir dengan mengeraskan suara setelah sholat itu tidak diperbolehkan.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Shallallalluhu ‘alaihi wasallam :
“Artinya: Wahai sekalian manusia, masing-masing kalian bermunajat(berbisik) kepada Rabb kalian, maka janganlah sebagian kalian menjauhkan bacaannya dengan mengganggu sebagian yang lain”
Al-Baghawi menambahkan dengan sanad yang kuat.
“Sehingga mengganggu kaum mu’minin (yang sedang bermunajat) “
Pendapat kedua
Dari Ibnu Abbas Radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ، كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاري ومسلم
“Artinya: bahwasanya dahulu kami menandai selesainya sholat fardhu adalah dengan suara dzikir dari Nabi Shallallalluhu ‘alaihi wasallam.“ (H.R Bukhari & Muslim)
Sebagaimana hadits tersebut bahwasanya Rasulullah Shallallalluhu ‘alaihi wasallam pernah berdzikir dengan suara keras setelah sholat. Dengan hadits ini dapat disimpulkan bahwasanya memelankan suara maupun mengeraskan suara dzikir setelah sholat memiliki landasan yang shahih.
Maka dalam konteks ini, Imam An-Nawawi menjadi penengah diantara kedua pendapat, yaitu dengan memberikan anjuran dzikir tersebut sesuai situasi dan kondisi. Seperti untuk pendidikan atau pengajaran kepada para jamaah yang masih awam tentang hal tersebut.
BACA JUGA: Bolehkah Berdzikir dengan Tangan Kiri?
Imam An-Nawawi berpendapat dalam buku Ruh Al-Bayan, Bairut Dar Al-Fikr, juz 3, hal 306:
جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الْإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ تَأَذَّى المُصَلُّونَ أَوْ النَّائِمُونَ وَالْجَهْرُ أَفْضَلُ فِى غَيْرِ ذَلِكَ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِينَ وَلِأَنَّهُ يُوقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ وَيَزِيدَ فِى النَّشَاطِ
“Artinya: Imam An-Nawawi mengumpulkan antara hadits-hadits yang membolehkan memelankan suara dalam berdzikir dan juga mengeraskan suara, bahwa memelankan suara dalam berdzikir lebih utama untuk diharapkan dapat menutupi riya’ dan tidak mengganggu orang yang tidur. Sedangkan dzikir dengan mengeraskan suara lebih baik jika tidak dalam dua hal tersebut. Faidah berdzikir dengan suara keras itu dapat memberikan pengaruh yang mendalam bagi pendengarnya, mengingatkan hati yang berdzikir, mengkhusyukan berdzikir, memusatkan pendengaran, menghilangkan kantuk, dan menambah semangat.” []
Sumber :
• Khoirul, NU Online | Kamis, 22 Mei 2014 06:12
• Kitab Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarrah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid
• Sabic Lab, Riyadh KSA, 25 Dzulhijjah 1432 H www.rumaysho.com
OPINI ini adalah kiriman pembaca Islampos. Kirim OPINI Anda lewat imel ke: islampos@gmail.com, paling banyak dua (2) halaman MS Word. Sertakan biodata singkat dan foto diri. Isi dari OPINI di luar tanggung jawab redaksi Islampos.