Oleh: Aminah Mustari
MENGAPA ada orang yang sangat gemar mengolok-olok orang lain? Kekurangan (atau fitnah?) orang lain dimunculkan menutupi semua kebaikannya. Dipampangnya kekurangan itu dalam sebuah media pamer kelas dunia, disebarkan seluas-luasnya. Padahal apa yang disebut kekurangan olehnya itu masih bisa diperdebatkan.
Lalu dia bersembunyi di balik kata: seni dan kebebasan berekspresi. Dulangan popularitas dan uang hasil gosipnya itu dibilang hanya efek, yang penting baginya adalah kebenaran disuarakan. Kebenaran macam apa?
Dan ketika olok-olok itu memakan (banyak) korban, kemudian olok-olok itu dilanjutkan kembali seperti tidak terjadi apa-apa, di manakah nurani? Mengapakah tidak berpikir tentang kepentingan dan kebaikan untuk orang lain?
Teman saya yang pintar suatu kali pernah bilang, “Kita jangan terlalu sensilah kalau dikritik atau dijelek-jelekkan. Tuhan dan Nabi saja kalem tuh dihina-hina.”
Ah, bagaimana saya membuatnya mengerti rasa sakit itu? Dan bagaimana dia mengerti bagaimana rasa cinta ini membuat kami menangis? Mengapa mereka tidak mencoba untuk mengerti? Tidak, kami tidak akan pernah membenarkan pembunuhan, karena Nabi yang dihina itu pun tidak pernah meminta kami berbuat demikian.
Saya terlalu serius? Hmm … bercanda itu menyenangkan dan menyegarkan kok, saya suka. Tapi, kenalilah karakter orang, mana hal yang sensitif dan penting bagi orang lain sebelum mencandainya. Kenali tempat mana yang bisa kaumasuki, hindari tempat yang kehadiranmu di sana akan membuat mudharat. []