SALAH satu yang dibahas dalam kaidah fiqih الأمور بمقاصدها (setiap perkara tergantung tujuannya) adalah tentang menggabungkan niat (tasyrik niat), salah satunya menggabungkan niat ibadah dengan niat selain ibadah (duniawi).
As-Suyuthi berkata, kadang tasyrik niat (menggabungkan niat ibadah) tersebut menyebabkan ibadahnya tidak sah, namun terkadang tetap sah.
Contoh yang tidak sah, ketika seseorang menyembelih hewan kurban dengan niat karena Allah ta’ala serta untuk persembahan berhala. Ibadah kurbannya tidak sah dan hewan sembelihannya haram dimakan.
Contoh ibadah tetap sah, cukup banyak, di antaranya, orang yang puasa dengan niat ibadah, sekaligus untuk diet atau terapi pengobatan, puasanya tetap sah.
Menggabungkan Niat Ibadah dan Tujuan Duniawi
Foto: FreepikAtau orang yang mandi junub untuk mengangkat hadats besar, sekaligus untuk menyejukkan badan, mandi wajibnya sah.
BACA JUGA: Niat Mengambil Upah dari Mengajar Ilmu Agama
Atau orang yang shalat dengan niat karena Allah dan untuk menghindari orang yang berutang, sah shalatnya.
Atau orang yang thawaf dengan niat ibadah sekaligus untuk menguntit orang yang berutang kepadanya yang juga sedang thawaf, sah thawafnya.
Lalu, jika ibadahnya sah, apakah ia tetap mendapatkan pahala? Ibn Ash-Shabbagh menyatakan, dalam kasus mandi atau wudhu dengan tujuan ibadah dan menyejukkan badan, pelakunya tidak mendapatkan pahala.
As-Suyuthi menyatakan, jika seperti itu, maka untuk kasus shalat dan thawaf, lebih layak lagi untuk tidak mendapatkan pahala.
Yang serupa dengan itu, kasus orang yang safar dengan tujuan haji sekaligus berdagang. Menurut Ibn ‘Abdis Salam, orang yang seperti ini tidak mendapatkan pahala, baik kadar niatnya setara, atau ada yang lebih unggul.
Sedangkan Al-Ghazali melihat dari, apa yang menjadi tujuan dominan, yang mendorong ia untuk safar. Jika yang dominan adalah tujuan duniawi, maka ia tak mendapatkan pahala.
Menggabungkan Niat Ibadah dan Tujuan Duniawi
BACA JUGA: Meninggalkan Maksiat Tidak Wajib dengan Niat
Jika yang dominan adalah tujuan ibadah atau tujuan agama, maka ia mendapatkan pahala sesuai kadar niatnya tersebut. Jika tujuan dunia dan agamanya sama, maka keduanya saling menggugurkan.
As-Suyuthi mendukung pendapat Al-Ghazali ini, dan berdalil dengan firman Allah ta’ala yang turun saat musim haji:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ
Artinya: “Tidak ada dosa bagi kalian, mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhan kalian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 198)
Wallahu a’lam. []
Rujukan: Al-Asybah Wa An-Nazhair Fi Qawa’id Wa Furu’ Fiqh Asy-Syafi’iyyah, karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Halaman 80-82, Penerbit Dar Al-Hadits, Kairo, Mesir.
Oleh: Muhammad Abduh Negara