Oleh: Dr. Ahmad Kusyairi Suhail, MA
Sekjen IKADI, Dosen FDI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SEBENTAR lagi kita akan memasuki Al ‘Asyru Al Awakhir (10 hari terakhir) Ramadhan. Dan itu berarti Ramadhan sudah memasuki babak akhir dan akan segera berakhir. Para juara Ramadhan yang berhak disematkan gelar takwa justru akan ditentukan pada sepuluh hari terakhir Ramadhan ini, karena di dalamnya, kata Nabi Muhammad SAW termasuk terjadi Lailatul Qadar.
Ibnu Rajab ra berkata, “Wahai hamba-hamba Allah, sungguh bulan Ramadhan ini akan segera pergi dan tidaklah tersisa darinya kecuali sedikit. Maka barang siapa telah mengisinya dengan baik, hendaklah menyempurnakannya. Dan siapa yang belum maksimal mengisinya dengan baik, hendaklah ia mengakhirinya dengan (amal-amal) yang baik.” (Lathaaifu’l Ma’arif I/209).
BACA JUGA:Â Adakah doa Khusus ketika Lailatul Qadar?
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kuda pacu apabila sudah mendekati garis finis, ia akan mengerahkan seluruh tenaganya untuk memenangkan lomba. Maka jangan sampai Anda kalah cerdas dari kuda, karena sesungguhnya amalan itu ditentukan oleh penutupnya. Jika anda belum menyambut Ramadhan dengan baik, paling tidak Anda dapat melepasnya dengan baik.”
Maka, bagi yang ingin meraih sukses Ramadhan dan memperoleh Lailatul Qadar, tidak ada kata lain selain meningkatkan kesungguhan beribadah dan melipatgandakan dalam memproduksi amal salih di sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Namun, di tengah pandemi Covid-19, dan guna mencegah penyebaran virus corona, kita semua diperintah untuk di rumah aja, sehingga kita tidak bisa beribadah i’tikaf di masjid, padahal i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan sangat dianjurkan (Sunnah Muakkadah). Amalan mulia yang tidak pernah ditinggalkan Rasulullah SAW. Sebagaimana penuturan Aisyah RA, bahwa Rasulullah selalu iktikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan (HR Bukhari, no. 2026, Muslim, no. 1171). Bahkan pada tahun beliau wafat, beliau i’tikaf 20 hari (HR Bukhari, no. 694). Masalahnya, ketika marak wabah virus corona seperti saat ini, apakah kita tetap dapat menggapai Lailatul Qadar, tanpa iktikaf di masjid atau dengan tetap ibadah di rumah saja?
Insya Allah bisa. I’tikaf di Masjid pada malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadhan adalah salah satu cara dan langkah yang baik dan potensial menghidupkan malam-malam itu dengan ibadah guna meraih Lailatul Qadar. Namun, i’tikaf bukan satu-satunya cara meraih Lailatul Qadar. Sebab, rukun i’tikaf itu ada dua; niat taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT dan berdiam di masjid. Maka, dengan berniat dan bertekad untuk i’tikaf di masjid, namun karena terhalang wabah virus corona, sehingga kita lakukan di rumah, dan dengan menghidupkan malam-malam sepuluh terakhir Ramadhan dengan beragam ibadah, seperti dengan memperbanyak shalat qiyamullail (tahajjud), tilawah, sedekah, zikir dan doa, mudah-mudahkan kita tetap mendapatkan pahala i’tikaf di masjid insya Allah. Sebab, Nabi SAW bersabda, “Maka barangsiapa yang berkeinginan kuat melakukan suatu kebaikan, namun tidak melakukannnya (seperti karena terhalang wabah atau lainnya), Allah akan tetap mencatat di sisi-Nya, sebagai kebaikan yang sempurna” (HR Bukhari, no. 6491 dan Muslim, no. 131).
Selain itu, masih ada beberapa tips dan langkah lain untuk menggapai Lailatul Qadar, di antaranya:
Pertama, mengenal hakikat Lailatul Qadar. Makna Al Qadr adalah At Ta’zhim, malam yang penuh keagungan dan keistimewaan sehingga orang yang menghidupkannya memiliki keagungan dan keistimewaan. Juga At Tadhyiiq, yaitu dirahasiakan mengetahui kepastian waktunya, atau karena bumi disesaki oleh para malaikat. Diatur pada malam itu semua urusan sepanjang masa.
Adapun keutamaan dan keistimewaan Lailatul Qadar: malam diturunkannya Al Qur’an; pengagungan Allah terhadapnya dengan firman-Nya; disifati sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan; turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril membawa berkah dan rahmat; penuh keselamatan dan kesejahteraan sehingga setan tidak dapat berbuat keburukan, dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah, seperti hidup, mati, rezeki, untung, rugi.
Waktu Lailatul Qadar dirahasiakan oleh Allah agar para hamba-Nya bersungguh-sungguh untuk mencarinya. Hanya saja Nabi SAW memberitakan bahwa kemungkinan besar hal itu terjadi pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Dan lebih besar lagi kemungkinannya di malam-malam ganjil (HR Bukhari no. 1878), dan dari malam-malam ganjil itu, malam kedua puluh tujuh lebih besar lagi kemungkinannya, bahkan Ubay bi Ka’ab sampai bersumpah tentang ini (HR Muslim II/267).
Namun, semua itu tetap bagian dari tafaa’ul(optimisme). Kemudian sebagian ulama menguatkan bahwa hal ini bisa berganti-ganti tiap tahun (Lihat Al Majmu’ VI/450, Fathu’l Baari IV/266). Bagi Rasulullah, langkah ini ditandai dengan turunnya surat Al Qadr. Melalui surat ini Allah mengenalkan kepada Rasul-Nya Lailatul Qadar dan keutamaan-keutamaannya. Karenanya, mengenal hakikat Lailatul Qadar adalah sebuah keniscayaan jika kita ingin keluarga kita menjadi peraih ‘medali’ malam yang lebih baik dari seribu bulan.
Kedua, menata niat dalam menggapai Lailatul Qadar.
Ketiga, melipatgandakan kesungguhan dari malam-malam sebelumnya.
Keempat, menghidupkan malam-malam itu dengan ibadah. Begitulah yang dilakukan oleh Rasulullah, sebab jika pada 20 hari pertama Ramadhan, beliau masih mencampur salat dan tidur, namun pada 10 hari terakhir Ramadhan beliau menghidupkan mayoritas malamnya dengan ibadah dan menyedikitkan tidur (HR Ahmad).
Kelima, membangunkan keluarga. Rasulullah SAW memuji suami-istri yang selalu bekerja sama dalam taat kepada Allah sebagaimana sabdanya: “Semoga Allah merahmati suami yang bangun malam menunaikan salat (tahajud) dan membangunkan istrinya. Jika ia enggan, dicipratkan air ke wajahnya. Semoga Allah merahmati istri yang bangun malam menunaikan shalat dan membangunkan suaminya. Jika ia enggan, dicipratkan air ke wajahnya.”
BACA JUGA:Â Kapan Tanggal Pasti Lailatul Qadar Terjadi?
Adalah kebiasaan Rasulullah membangunkan istrinya Aisyah jika beliau selesai tahajud dan sebelum mengerjakan salat witir. Dalam riwayat yang sahih diceritakan bahwa Nabi SAW pada malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadhan membangunkan keluarganya, seperti suatu malam beliau pernah mengetuk pintu rumah putrinya Fathimah dan suaminya Ali bin Abu Thalib sambil mengatakan: “Tidakkah kalian berdua bangun untuk mengerjakan shalat?”
Hal ini juga dilakukan oleh para sahabat. Disebutkan dalam kitab Al Muwaththa’ karya Imam Malik, bahwasanya Umar bin Khaththab RA mengerjakan salat malam (tahajud), begitu memasuki separuh malam baru beliau membangunkan keluarganya untuk menunaikan salat dengan mengatakan kepada mereka: “Salat! Salat!” dan membaca ayat 132 dalam QS Thaahaa yang artinya: “Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.”
Keenam, menjauhi istri agar dapat konsentrasi beribadah. Hal ini dilakukan oleh Rasulullah seperti diceritakan oleh Aisyah: “Dahulu Rasululullah SAW apabila memasuki sepuluh hari terakhir Ramadhan, menghidupkan malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya dan mengikatkan dengan erat sarungnya.”
Ketujuh, mengakhirkan makan sampai sahur.
Kedelapan, mandi di antara Maghrib dan Isyak.
Kesembilan, berdoa. Sebagai hamba Allah kita hanya berkewajiban berusaha, akhirnya hanya Allah-lah yang menentukan. Namun, Allah menjanjikan bahwa hidayah, taufiq dan pertolongan-Nya akan diberikan kepada para hamba-Nya yang bersungguh-sungguh (QS Al ‘Ankabuut: 69). Karena itu, selain dengan usaha-usaha lahir di atas, kita juga harus melakukan usaha batin, di antaranya dengan berdoa kepada Allah agar kita termasuk orang-orang yang diberikan taufiq untuk menggapai Lailatul Qadar.
Dan selama menghidupkan malam-malam itu dengan salat, tilawah Alquran, zikir, dan sedekah kita juga banyak memperbanyak doa. Di antara doa yang selalu kita baca di malam-malam itu adalah, Allaahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘annii (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, maka maafkanlah aku). []
SUMBER: IKADI